Sidang lanjutan uji materiil tentang Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali digelar, Selasa (9/1). Dalam sidang tersebut, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti menjelaskan frasa “dihentikan” dalam pasal a quo mesti dipertahankan karena ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum.
Pasal 55 UU MK menyatakan, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Ninik menjelaskan frasa “dihentikan” dalam pasal a quo merupakan ketentuan yang memberikan kepastian hukum terhadap prosedur pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk dihentikan, jika undang-undang sebagai batu uji juga sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan Mahkamah Agung dalam judicial review dalam peraturan perundang-undangan.
“Kata dihentikan dalam norma pasal a quo sangat penting sehingga keselarasan antara kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam judicial review peraturan perundang-undangan dapat berjalan dengan baik dengan mengacu pada prinsip sistem hierarki peraturan perundang-undangan,” jelas Ninik dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, Ninik menyebut jika frasa “dihentikan” dimaknai dengan “ditunda” sesuai petitum Pemohon, maka hal itu justru berpotensi menimbulkan pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang secara sistem hukum akan dapat merusak sistem hierarki peraturan perundang-undangan.
“Dengan demikian, pemerintah tetap berpandangan bahwa kata dihentikan dalam norma pasal a quo sudah sangat tepat sebagai landasan hubungan antara kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tegas Ninik.
Ketidakpastian Hukum
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) hadir dalam sidang tersebut sebagai Pihak Terkait. Diwakili oleh Andi Julia Cakrawala, jika frasa “dihentikan” dihapuskan seperti petitum Pemohon, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Keberadaan Pasal 55 UU MK dinilai MA justru menjamin adanya keutuhan sistem hukum kenegaraan agar tidak terjadi kekacauan sistem (hectic). Andi juga menyampaikan ketentuan Pasal 55 UU MK telah diterapkan oleh Mahkamah Agung melalui sejumlah putusan hak uji materi yang diajukan ke Mahkamah Agung setelah memperhatikan peraturan Mahkamah Agung tentang hak uji materi. Hal ini karena eksistensi suatu peraturan perundangundangan ditentukan oleh peraturan yang berada di atasnya.
Perkara dengan Nomor 93/PUU-XV/2017 diajukan oleh tiga pekerja pabrik. Mereka menguji Pasal 55 UU MK terkait MA yang tak dapat menguji peraturan pemerintah (PP) jika UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di MK. Para Pemohon, yakni Abda Kahir Mufti, Muhammad Hafidz, dan Abdul Hakim.
Pemohon menjelaskan pihaknya hendak menguji Pasal 44 PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan ke MA. Namun Pemohon berkaca dari pengalaman terkait putusan serupa, maka permohonannya akan bernasib sama yakni ditolak MA. Pemohon menjelaskan MA sudah memutus perkara lain menyangkut PP Nomor 78 Tahun 2015. Hasilnya perkara ditolak karena dasar pengujiannya, UU Nomor 13 Tahun 2013, sedang diuji di MK. (ARS/LA)