Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 8 lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang, Selasa (9/1). Pemohon perkara 102/PUU-XV/2017 adalah E. Fernando M. Manullang yang berprofesi sebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pemohon menyatakan kerugian konstitusional yang dialaminya karena berlakunya ketentuan UU a quo menyebabkan lembaga perbankan tak lagi menjalankan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan nasabah. “Ini berakibat ketidakpastian akan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam mempertahankan hak atas harta benda di bawah kekuasaan Pemohon,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Fernando, tanpa diwakili kuasa hukum, menerangkan dirinya memiliki rekening nasabah pada lembaga keuangan dan perbankan. Dengan berlakunya UU Nomor 9/2017, maka potensi kerugian yang dapat dipastikan adalah lembaga perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya secara sengaja maupun tidak sengaja dan/atau secara langsung dan/atau tidak langsung melepas tanggung jawab untuk menjaga rahasia nasabah setiap Warga Negara Indonesia (WNI). Hal itu dilakukan dengan dalih melaksanakan ketentuan UU, yang secara substansial, tidak sesuai dengan Automatic Exchange of Financial Information (AEOI).
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempertanyakan isi petitum yang kontradiktif satu dengan lainnya. Mari memaparkan pada poin kedua petitum, Pemohon meminta seluruh UU dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, lanjut Maria, di poin berikutnya justru meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 8 bertentangan dengan UUD 1945 dan juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Untuk itu, ia meminta agar petitum diubah.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut ada problem teoretis yang mesti diperjelas. Ia pun meminta kedudukan hukum Pemohon dalam memandang konteks instrumen hukum internasional dikorelasikan dengan konteks UUD 1945.
“Kalau dari logika permohonan Saudara ini kalau saya memahami, Anda seolah-olah mau menempatkan Indonesia itu menganut paham monis sehingga apa yang sudah disepakati di dalam satu agreement, perjanjian internasional, entah itu bentuknya treaty ataupun sekadar agreement itu langsung mengikat. Dan bahkan dalam titik tertentu kemudian Anda di sini perlawankan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jadi, posisi teoretisnya harus Anda jelaskan dulu sebelum Anda menggunakan ada kerugian konstitusional di situ,” tandasnya. (ARS/LA)