Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah rentan mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik. Hal ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesepuluh Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (10/1) di Ruang Sidang MK.
Suaedy yang dihadirkan oleh Komnas Perempuan menerangkan diskriminasi tersebut terjadi akibat multitafsir terhadap suatu undang-undang. Ketiadaan pembatasan pengertian yang jelas dan spesifik di dalam undang-undang tersebut diungkap Suaedy sebagai pemicu multitafsir tersebut. Menurut Suaedy, seharusnya kesetaraan dalam pelayanan publik harus didasarkan pada amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. “Pelayanan publik dalam suatu negara merdeka, berdaulat, dan demokrasi seperti Indonesia tidak bisa dikecualikan hanya karena minoritas yang berbeda dengan mayoritas,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Kemudian Suaedy menegaskan perlunya Pemerintah melindungi pihak yang lemah dan membatasi pihak yang menyerang agar tidak terjadi kekerasan. Apalagi, lanjutnya, Pemerintah harus memberikan pelayanan kepada semua rakyat Indonesia tanpa pandang bulu, sebagai mandat konstitusi.
“Dalam banyak kasus, aksi kekerasan, penyegelan masjid Ahmadiyah misalnya, dilakukan bukan hanya oleh sekelompok orang yang tidak setuju dan beda pendapat dengan Ahmadiyah, melainkan oleh aparat pemerintah, seperti Satpol PP. Tentu mereka atas Pemerintah pemimpin di atasnya. Maka, Pemerintah perlu ada UU yang tidak bisa ditafsir meluas untuk melakukan perlindungan terhadap Ahmadiyah dan kelompok lemah yang lain,” paparnya.
Sebelumnya, para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum. (Lulu Anjarsari)