Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Penjelasan Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), Rabu (20/12). Permohonan Perkara Nomor 99/PUU-XV/2017 diajukan ibu rumah tangga asal Sukabumi, Nina Handayani terkait status hukum pernikahan beda warga negara.
Penjelasan Pasal 2 angka 1 UU Peradilan Agama yang diujikan :
“Yang dimaksud dengan \"rakyat pencari keadilan\" adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia.”
Kuasa Hukum Pemohon Youngky Fernando menyebut Pemohon menikah dengan pria berkewarganegaraan Malaysia bernama Mohd Zuki bin Daud pada 2 April 2006. Kemudian pada 22 Maret 2017, sang mantan suami mengajukan talak untuk perceraian. Selama perkawinan dilangsungkan Pemohon tetap menjadi WNI. Permasalahan timbul ketika hubungan perkawinan Pemohon berakhir pada perceraian dan diketahui bila perkawinan campuran yang dilaksanakan oleh Pemohon belum sah secara hukum perdata internasional sehingga mengakibatkan status perkawinan Pemohon sama halnya seperti jenis perkawinan siri’ (perkawinan yang tidak tercatat di KUA). Pemohon kemudian bersengketa dengan mantan suaminya terkait kepemilikan harta benda yang diperoleh dalam perkawinan. Kemudian Pemohon mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan Agama hingga tingkat kasasi.
Pasca proses perceraian, jelas Youngki, terjadi pembagian harta gono-gini berupa tanah yang dimiliki Pemohon, namun tidak disepakati Pemohon. Hal ini karena buku nikah Pemohon dan mantan suaminya tidak dilegalisir oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan tak didaftarkan di Kedubes Malaysia dan Negara Bagian Selangor.
“Ini membuat status perkawinan campur menjadi tidak sah secara Hukum Perdata Internasional, Hukum Indonesia, maupun Hukum Malaysia. Hal tersebut sesuai juga dengan pendapat Lii Rasjidi dalam buku Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Saldi Isra.
Selain itu, dalam perkaranya di Pengadilan Agama tersebut, Pemohon menilai bahwa frasa “Rakyat Pencari Keadilan” dalam penjelasan Pasal 2 UU a quo bersifat multitafsir, yang dijadikan alat bagi oknum hakim Peradilan Agama Indonesia untuk bermain-main dengan tafsir yang akhirnya membuka peluang perilaku koruptif guna mendapatkan harta bersama Pemohon. Frasa “Rakyat Pencari Keadilan” dalam ketentuan a quo tidak menjelaskan pengertian orang asing yang serta-merta menjadi subjek hukum di Peradilan Umum, atau di Peradilan Khusus, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.
Oleh karenanya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa “Rakyat Pencari Keadilan” bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Orang Asing dalam perkawinan campuran yang sah secara hukum internasional dan hukum yang berlaku di kedua negara berbeda masing-masing pasangan”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Pemohon memperhatikan kedudukan hukum yang dinilainya belum jelas. Ia meminta kedudukan hukum agar diperjelas untuk mengajukan permohonan dapat ditangkap MK. “Legal standing-nya itu harus dibuat lebih jelas. Supaya kami dari Majelis yakin jika Pemohon memang memiliki alasan hukum untuk mengajukan permohonan ini,” tegasnya.
Sementara bagian dalil permohonan, Saldi meminta Pemohon untuk tidak melakukan pemilahan. Ia pun meminta Pemohon menjelaskan alasan kerugian konstitusional dengan berlakunya penjelasan pasal dari undang-undang dimaksud. “Itu yang paling penting dijelaskan. Sebab kalau kami tidak bisa membaca kerugian itu dan norma itu masih tetap berlaku bahwa akan merugikan Pemohon, maka tentu sulit bagi Mahkamah mengabulkan permohonan ini,” jelasnya lebih lanjut
Sementara Hakim Maria Farida Indrati memandang posita dan petitum tidak memiliki korelasi. Bagian posita menjelaskan perkawinan dan membeli tanah, tapi di dalam petitum-nya, Pemohon meminta penafsiran untuk frasa “rakyat pencari keadilan”. “Ini tidak nyambung sama sekali. Jadi, harus dirumuskan ulang apa yang dimohonkan dalam pengujian,” ujarnya.
Di sisi lain, Maria menegaskan MK tidak mengadili kasus konkret, namun kasus konkret dapat menjadi landasan untuk pengujian suatu norma dalam undang-undang. (ARS/LA)