Nina Handayani warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria warga negara asing (WNA) memperbaiki permohonan. Youngky Fernando selaku kuasa hukum Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) menegaskan ada 19 halaman yang diperbaiki dari permohonan.
“Dari yang semula 20 halaman yang akan diperbaiki menjadi 19 halaman,” kata Youngky kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang perbaikan di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/1) siang.
Selain itu, kata Youngky, ada perbaikan dalam kedudukan hukum Pemohon. Berdasarkan alasan di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan memutuskan UU Peradilan Agama yang diuji bertentangan dengan UUD 1945
Sebagaimana diketahui, Pemohon mempersoalkan frasa “rakyat pencari keadilan”dalam Penjelasan Pasal 2 UU Peradilan Agama. Penjelasan Pasal 2: Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia
Permohonan dengan Nomor 99/PUU-XV/2017 ini dilatarbelakangi oleh perkawinan Pemohon WNI yang kawin dengan WNA dan menjalani perkawinan campuran. Selama perkawinan dilangsungkan Pemohon tetap menjadi WNI. Permasalahan timbul ketika hubungan perkawinan Pemohon berakhir pada perceraian dan diketahui bila perkawinan campuran yang dilaksanakan oleh Pemohon belum sah secara hukum perdata internasional sehingga mengakibatkan status perkawinan Pemohon sama halnya seperti jenis perkawinan siri. Pemohon kemudian bersengketa dengan mantan suaminya terkait kepemilikan harta benda yang diperoleh dalam perkawinan. Kemudian Pemohon mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan Agama hingga tingkat kasasi.
Dalam perkaranya di Pengadilan Agama tersebut, Pemohon menilai bahwa frasa “rakyat pencari keadilan” dalam penjelasan Pasal 2 UU a quo telah membuka ruang multitafsir, yang dijadikan alat bagi oknum hakim Peradilan Agama Indonesia untuk bermain-main dengan tafsir yang akhirnya membuka peluang perilaku koruptif guna mendapatkan harta bersama. Frasa “rakyat pencari keadilan” dalam ketentuan a quo tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan orang asing tersebut serta merta menjadi subjek hukum di peradilan umum, atau di peradilan khusus, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. (Nano Tresna Arfana/LA)