Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (9/1) siang. Agenda sidang adalah perbaikan permohonan. Pemohon Perkara Nomor 97/PUU-XV/2017 tersebut dimohonkan oleh Etty Afiyati Hentihu, Agung Prastio Wibowo, Mahestu Hari Nugroho, dkk.
Salah seorang kuasa hukum Pemohon, Ferdian Sutanto memperjelas kedudukan hukum Pemohon seperti disarankan Panel Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon merupakan pengemudi taksi aplikasi berbasis teknologi seperti Go-Car, Grab-Car, maupun Uber-Car. Selain itu, Pemohon juga memaparkan mengenai definisi angkutan berbasis aplikasi online.
“Menurut hemat kami, dari angkutan kendaraan bermotor umum roda empat dengan sistem transaksi menggunakan aplikasi online. Angkutan adalah perpindahan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan. Kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan atau orang dengan dipungut biaya,” papar Ferdian.
Ferdian melanjutkan, roda empat adalah kendaraan darat dengan digerakkan oleh tenaga mesin menggunakan bahan bakar minyak yang beroperasional di ruang lalu lintas jalan. Sistem transaksi adalah bagian dari sistem informasi yang merupakan sebuah sistem yang menjalankan dan mencatat transaksi yang diperlukan untuk menjalankan transaksi bisnis.
“Kemudian aplikasi adalah suatu program komputer yang dibuat untuk mengerjakan dan melaksanakan tugas. Online adalah keadaan komputer yang terkoneksi dengan terhubung ke jaringan internet,” tambah Ferdian.
Sementara kuasa hukum Pemohon lainnya, Edy M. Lubis menjelaskan bahwa Pemohon juga sudah memperbaiki sistematika penulisan dan kedudukan Pemohon. Bahwa pengemudi taksi aplikasi berbasis teknologi dari berbagai macam aplikasi yaitu Go-Car, Grab-Car atau Uber-Car sebagai identitas atau keanggotaan para Pemohon.
“Urgensinya adalah bahwa karena terganggunya keamanan dan kenyamanan hak para Pemohon merupakan satu conditio sine qua non bagi penghormatan hak asasi manusia. Seperti adanya peristiwa ribuan supir angkut di Malang Tolak Transportasi Online, tertanggal 26 September 2017,” ungkap Edy.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon berprofesi sebagai pengemudi online yang mempersoalkan Pasal 151 Huruf a UU LLAJ menyatakan bahwa salah satu angkutan umum tidak dalam trayek yang legal adalah taksi. Pasal 151 UU LLAJ menyebutkan, ”Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi …”
Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan ketentuan a quo belum mengakomodasi taksi online sebagai salah satu penyedia jasa angkutan. Hal ini dinilai merugikan para Pemohon karena dengan tidak dicantumkannya taksi online dalam ketentuan a quo. Hal ini berpotensi menghalangi hak para Pemohon untuk mencari penghidupan. Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah untuk memasukkan taksi online ke dalam UU LLAJ. (Nano Tresna Arfana/LA)