Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Senin (8/1). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 100/PUU-XV/2017 ini diajukan oleh Desy Puspita Sari yang berprofesi sebagai pegawai kontrak Bank Republik Indonesia (BRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Pemohon menguji pasal-pasal berikut:
Pasal 6 UU Ketenagakerjaan
“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”
Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
“Setiap pekerja/buruh mempunai hak unuk memperoleh perlindungan atas: … b. moral dan kesusilaan; c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.”
Pemohon mendalilkan permohonan a quo menitikberatkan kepada standar ganda yang berlaku antara pekerja dengan kategori Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) “sejak semula” dengan PKWTT “demi hukum”.
“Masih terbukanya ruang interpretasi untuk menafsirkan demi hukum, maka akan terjadi kekacauan dan kesimpangsiuran. Bahkan ada upaya mengadu domba kalangan buruh terhadap pengusaha dengan provokasi agar setiap pekerja PKWT yang melakukan pekerjaan bersifat tetap diakui sebagai PKWTT demi hukum. Sehingga tercipta ketidakharmonisan dalam hubungan industrial,” papar Missiniaki Tomi, salah seorang kuasa hukum Pemohon.
Di samping itu, menurut Pemohon, ketentuan UU a quo dimaksud telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon terutama terkait dengan jenjang karier dan hak-hak normatif lainnya yang seharusnya diterima sebagai karyawan dengan status PKWTT sejak semula. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Kasus Konkret
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai permohonan yang diajukan Pemohon merupakan kasus konkret. “Permohonan Saudara yang tertulis ini maupun di uraian Saudara adalah kasus konkret. Padahal kita di sini yang mau Anda buktikan ada pertentangan norma undang-undang dengan UUD 1945 dan itu mau dibatalkan?” ucap Palguna.
Selanjutnya, Palguna menganggap Pemohon kurang menguraikan dan menjelaskan detail kedudukan hukum Pemohon. “Kedudukan hukum itu berisi penjelasan Anda mengapa norma undang-undang yang Anda mohonkan dianggap merugikan hak konstitusional Anda. Permohonan Anda belum membuktikan ada pertentangan atau tidak antara norma undang-undang dengan Undang-Undang Dasar,” jelas Palguna.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku Pimpinan Panel menasehati Pemohon agar memberi argumentasi jelas terhadap permohonannya. “Beri argumentasi kalau itu kemudian menimbulkan ketidakpastian, kekacauan, kemudian multitafsir layaknya sebuah norma. Jangan karena ada kasus konkret hanya satu, dua, kemudian ada perlakuan tidak adil yang mestinya bisa Anda tempuh di peradilan umum untuk mencari keadilan,” tegas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)