Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria), Senin (8/1). Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hamim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Berikut bunyi pasal-pasal yang diajukan oleh Pemohon.
Pasal 21 ayat (3) UU Agraria
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.
Pasal 26 ayat (2) UU Agraria
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
Perkara yang teregistrasi nomor 101/PUU-XV/2017 ini dimohonkan Oltje J.K. Pesik yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Melalui kuasa hukumnya Youngky Fernando, Pemohon menilai pasal-pasal a quo berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Dalam uraiannya Youngky menyampaikan frasa “... karena hukum ...” dan “... perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik ...” pada kedua pasal tersebut multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara atau Pemohon yang mencari kebenaran hukum di Pengadilan Agama Cibadak, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan Mahkamah Agung Bidang Agama.
Youngky juga menegaskan frasa tersebut juga secara tidak langsung memindahkan hak milik Pemohon kepada orang asing. Menurutnya, frasa tersebut menimbulkan persoalan konstitusionalitas karena yang dimaksud dengan frasa “karena hukum” itu secara serta merta berlaku tanpa proses hukum lagi.
“Untuk itu, Pemohon memohon kepada hakim mahkamah konstitusi bahwa Pasal 21 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘karena hukum’ atau dengan kata lain adalah ‘demi hukum’ adalah secara serta merta berlaku tanpa proses hukum lagi. Dan menyatakan, frasa pada Pasal 26 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘Perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung maupun tidak langsung memindahkan hak milik orang asing’ adalah termasuk juga penetapan pengadilan maupun putusan pengadilan yang memindahkan hak tanah milik warga negara Republik Indonesia menjadi harta bersama atau gono-gini bersama-sama dengan warga negara asing,” terang Youngky saat membacakan Petitum yang dimohonkan Pemohon.
Nasihat Hakim
Terhadap permohonan tersebut, Manahan menyampaikan beberapa catatan untuk kemudian diperbaiki Pemohon untuk memperkuat dalil permohonannya. Manahan menyarankan agar Pemohon mengelaborasi kedudukan hukum lebih lanjut. “Perlu dilakukan elaborasi terhadap kasus konkret yang dialami Pemohon dengan hak konstitusionalnya sehingga bukan menyebutkan putusan-putusan yang terkait hal-hal yang dialami Pemohon,” jelas Manahan.
Sementara, Palguna pun melihat permohonan sangat detail dengan kasus konkret sehingga terkesan membaca perkara perdata. Ia juga menilai permohonan Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
“Ini permohonan pengujian UU dengan kerangka berpikirnya sederhana. Maka melihat permohonan ini seperti membaca perkara perdata dan ini tidak ada urusannya dengan norma yang akan diuji. Jadi, perhatikan lagi legal standing, kualifikasi, dan hak konstitusional yang mana yang dirugikan,” papar Palguna.
Sedangkan Suhartoyo merasa sulit memahami permohonan Pemohon karena melihat adanya upaya mencari sudut pandang dengan berusaha menelisik norma-norma yang dinilai merugikan konstisional Pemohon.
Pada akhir persidangan, Manahan menyampaikan Pemohon diberikan waktu perbaikan diserahkan paling akhir pada Senin, 22 Januari 2018 pukul 10.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)