Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang perkara No. 26/SKLN-V/2007 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tenggara sebagai Pemohon I dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tenggara selaku Pemohon II dengan KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai Pihak Termohon I, Gubernur NAD sebagai Pihak Termohon II, dan Presiden RI cq. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai Termohon III, Rabu (16/1), di ruang sidang pleno MK dengan agenda mendengarkan tanggapan para Termohon, mendengarkan keterangan Pihak Terkait Langsung dan Ahli dari Pemohon dan Termohon.
Pada sidang tersebut hadir ahli dari Termohon I yakni, Abdullah Saleh, dan saksi dari Termohon I, Rahmat Fadhil, SP. Sedangkan ahli yang didatangkan oleh Termohon II adalah Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. dan Moh. Daud Yoesoef, S.H., M.H serta saksi dari Termohon II, Harun Al-Rasyid dan Andi Railan. Sementara dari pihak Pemohon hanya mendatangkan seorang Ahli yakni, Prof. Dr. Ana Erliana., S.H., M.A.
Memulai persidangan, Kuasa Pemohon, Andi M. Asrun menjelaskan bahwa maksud diajukannya permohonan ini karena KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengambil alih secara ilegal wewenang KIP Kabupaten Aceh Tenggara untuk merekapitulasi hasil perhitungan suara Pilkada yang berdampak pada pembatalan keputusan yang diajukan KIP Kabupaten Aceh Tenggara kepada DPRK Aceh Tenggara. âOleh sebab itu kami mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk membatalkan keputusan KIP Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan surat yang diajukan oleh Gubernur kepada Mendagri, dan menyatakan pengambilalihan tersebut sebagai tindakan yang ilegal serta menyatakan yang berhak menyelesaikan Pilkada Bupati dan Wakil Bupati adalah KIP Aceh Tenggara,â ucap Asrun.
Menanggapi pernyataan tersebut, Prof. Dr. Ana Erliana., S.H., M.A selaku Ahli Pemohon mengatakan bahwa secara tersurat berdasarkan UUD 1945 Lembaga Negara adalah sebagaimana tersebut di dalamnya yaitu memiliki kewenangan atribusi atau pembagian kekuasan negara berdasarkan UUD 1945 dan tidak memiliki kepanjangan tangan. Tapi sebagai UUD, menurut Ana, tentu saja perlu dicermati karena hanya mengatur hal-hal yang mendasar. âSetelah amendemen, UUD 1945 terbuka untuk dilakukan pengembangan hukum lewat interpretasi tersirat, misalnya mana yang dicermati, nama-nama Lembaga Negara atau kewenangan-kewenangan yang terbatas,â jelas Ana.
Sedangkan menurut Ahli Termohon II, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. perkara yang diajukan oleh Pemohon meskipun disusun dalam bentuk permohonan SKLN, pada intinya perkara yang diajukan sebenarnya adalah sengketa hasil Pilkada di Kabupaten Aceh Tenggara yang seharusnya diselesaikan di Mahkamah Agung (MA) dan bukan di Mahkamah Konstitusi.
Atas pernyataan dari ahli Termohon II tersebut, Kuasa Pemohon, Doni Sianipar mengatakan bahwa pihaknya dalam perkara ini tidak mengajukan perkara mengenai hasil perhitungan suara tetapi lebih kepada hak konstitusional Pemohon yang diambil alih secara ilegal oleh KIP Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. âSesungguhnya keadilan yang kami harapkan, kami tidak peduli dengan siapa yang terpilih,â ucap Rasyidin Pagan selaku Pemohon Prinsipal.
Perdebatan di dalam persidangan selama 3,5 jam ini belum menemui kata akhir. Masing-masing pihak masih bersikukuh terhadap kewenangan yang dimilikinya. Untuk memenuhi fairness di dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., memutuskan untuk mengadakan satu kali lagi persidangan untuk mendengar keterangan saksi dari Pemohon dan Termohon. âSebelum dijadwalkan sidang putusan, supaya adil, pada sidang selanjutnya kami minta Pemohon dan Termohon mendatangkan lagi saksi-saksinya untuk kita crossing pendapatnya,â kata Jimly. (Andhini Sayu Fauzia)