Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) pada Senin (18/12) siang. Agenda sidang Perkara Nomor 87/PUU-XV/2017 adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemerintah, Guru Besar Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko Santoso.
Djoko menjelaskan bahwa peran profesor menjadi sangat penting karena harus bisa menciptakan sesuatu yang disebut sebagai budaya akademik. Selain itu, profesor harus mampu mengelola pembelajaran dan riset maupun melakukan pengabdian kepada masyarakat. Dijelaskan Djoko, profesor tidak hanya mempunyai tugas memberikan kuliah presentasi dan seminar atau yang sejenisnya. Akan tetapi, sambungnya, profesor melakukan riset dan penelitian, khususnya di bidang pascasarjana, untuk diterbitkan dalam jurnal-jurnal yang di-review oleh para pakar lainnya. Hal itu dinilainya membutuhkan pendidikan yang paripurna.
“Profesor juga mempunyai tugas untuk membina para staf pengajar yang lebih muda. Di sisi lain, profesor itu sebenarnya kedudukannya tidak hanya diakui secara lokal, namun demikian juga secara regional maupun internasional. Jadi kalau kita melihat apa yang harus dilakukan oleh para profesor, maka secara wajar bahwa profesor tadi semestinya mempunyai pendidikan yang paripurna. Prinsip dari sistem pendidikan tinggi tadi untuk pendidikan paripurna adalah mereka yang telah mengalami pendidikan pada level jenjang doktor atau jenjang S-3, kita tunjukkan bahwa kewajibannya tidak hanya di dalam proses pengelolaan pendidikan, namun juga kepada riset,” papar Djoko.
Djoko mencermati bahwa sebagian besar profesor di Indonesia belum melaksanakan tugas secara optimal. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Tiongkok, karya profesor Indonesia hanya berjumlah sekitar 54 ribu.
“Kita bisa membandingkan dengan Amerika Serikat, karya profesor itu sekitar 10.000.000. China sekitar 5.000.000, Indonesia 54.000. Sementara kalau dibandingkan dengan Malaysia, jumlahnya empat kali lipat lebih yaitu 200.000 sekian ribu. Vietnam sedikit di bawah kita dan Filipina masih di bawah kita,” ungkap Djoko.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Suharto yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya di Malang yang menguji Pasal 48 ayat (3) UU a quo yang menyebutkan, “Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor”.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya aturan tersebut karena karena Pemohon tidak bisa naik pangkat. Kenaikan pangkat atau jabatan, lanjutnya, memiliki implikasi yang sangat luas terhadap kesejahteraan dosen. (Nano Tresna Arfana/LA)