Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada Rabu (13/12) siang. Perkara Nomor 95/PUU-XV/2017 dan 96/PUU-XV/2017 tersebut diajukan oleh Setya Novanto.
Pada persidangan kali ini, Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Yudha Pandu menyampaikan terlah mengubah sistematika permohonan sesuai saran Panel Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon juga memperbaiki alasan-alasan kerugian konstitusional Pemohon dan petitum.
“Dalam petitum kami menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam memohon pengujian undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ungkap Yudha kepada Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku pimpinan sidang.
Di samping itu dalam petitum, Pemohonmenyatakan Pasal 46 ayat (1) UU KPK tidak berlaku dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 apabila dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR dalam suatu perkara tindak pidana korupsi. Pemohon juga menyatakan Pasal 46 ayat (1) UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap anggota DPR sepanjang tanpa izin tertulis dari Presiden.
Sebagaimana diketahui, Pemohon menguji Pasal 46 ayat (1) UUD KPK yang menyebutkan, “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.”Selain itu diuji Pasal 46 ayat (2) UU a quo yang berbunyi, “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.”
Terhadap ketentuan Pasal 46 UU KPK, Pemohon beralasan bahwa anggota DPR mempunyai hak imunitas terhadap sentuhan hukum sebagaimana dijamin oleh Konstitusi. Pemohon beranggapan bahwa Pasal 46 UU KPK bertentangan dengan hukum acara yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab ketentuan itu mengabaikan ketentuan lain di dalam KUHAP mengenai proses pemeriksaan tersangka.
Di samping itu, ketentuan tersebut bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang menyatakan pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden.
Pemohon beralasan bahwa Mahkamah juga pernah memberikan sebelumnya yakni Putusan No. 76/PUU-XII/2014 tertanggal 22 September 2015 mengenai keharusan penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan atau pemanggilan terhadap anggota DPR harus dengan seizin Presiden. Sebelumnya dalam UU MD3 ada keharusan dengan izin Mahkamah Kehormatan Dewan. Tetapi setelah ada putusan MK, maka pemeriksaan harus seizin Presiden.
Pemohon berpendapat bahwa izin tertulis dari Presiden diperlukan agar seorang anggota DPR tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas dan wewenanganya. Hal ini sesuai dengan Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011. (Nano Tresna Arfana/LA)