Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Sugihartoyo seorang dosen asal Banyuwangi. “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Perkara Nomor 83/PUU-XV/2017 tersebut.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat penempatan tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagai delik biasa merupakan suatu bentuk perlindungan hukum oleh negara terhadap warga negara dari segala kemungkinan penyalahgunaan jabatan.
“Dengan menentukannya sebagai bukan delik aduan, maka KUHP sesungguhnya memperkecil ruang orang untuk melakukan penggelapan dalam jabatan yang sedang diembannya. Oleh karena itu, Pasal 374 KUHP tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, lanjut Saldi, pada saat yang sama, penempatan tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagai delik biasa sangat tidak beralasan untuk dinilai atau ditempatkan sebagai norma yang bersifat diskriminatif.
“Sebab, kualifikasi tindak pidana tersebut hanyalah berhubungan dengan penentuan kelompoknya, tidak berhubungan dengan pembedaan pemberlakuannya terhadap orang tertentu yang didasarkan atas perbedaan ras, suku, jenis kelamin, warna kulit, agama dan sebagainya sebagaimana pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Saldi.
Saldi menjelaskan lebih jauh Mahkamah mempertimbangkan, apabila dasar argumentasi dalil Pemohon diikuti bahkan dikabulkan, maka justru yang akan terjadi adalah sebaliknya yaitu akan semakin menjauh dari kepastian hukum. Hal demikian didasarkan kepada pertimbangan bahwa mengingat apabila setiap tindak pidana diisyaratkan pelapornya harus dilakukan oleh korban yang mengalami kerugian materiil. Maka, lanjutnya, hal demikian hampir setiap tindak pidana berdimensi dengan kerugian materiil bagi korban. Sehingga hal inilah yang kemudian akan merusak kualifikasi delik aduan dan delik biasa, karena semua tindak pidana akan menjadi delik aduan. Sehingga bilamana diletakkan dalam konteks tindak pidana korupsi, misalnya syarat bahwa yang dapat melapor adalah pihak yang dirugikan secara materiil, hal itu berpotensi menghambat masyarakat untuk melaporkan adanya indikasi telah terjadinya praktik tindak pidana korupsi.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan Pemohon agar Pasal 374 KUHP dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum,” tandas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA)