Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan terkait syarat batas usia bagi perangkat desa. Putusan Nomor 65/PUU-XV/2017 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang digelar pada Selasa (12/12) di Ruang Sidang MK.
Sukirno, warga Desa Sidasari, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, selaku Pemohon menguji Pasal 50 ayat 1 huruf b UU Desa. Ketentuan a quo menghalanginya mencalonkan diri sebagai perangkat desa karena usianya sudah melewati 10 bulan dari syarat usia yang ditentukan UU Desa. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa mengekang, dan memberi pembatasan, serta tidak memberi kesempatan yang sama kepada Pemohon. Padahal, lanjutnya, ia masih dalam usia produktif dan berniat ingin berkarya menjadi Perangkat Desa.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Mahkamah berpendapat perangkat desa sebagaimana dimaksudkan oleh UU Desa merupakan aparat yang diangkat oleh kepala desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota untuk membantu kepala desa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa. Dengan demikian, menurut Mahkamah, adalah wajar UU Desa mengatur beberapa persyaratan agar seseorang dapat diangkat sebagai perangkat desa. Persyaratan untuk menjadi perangkat desa yang dipersoalkan Pemohon adalah mengenai persyaratan batas usia yang diatur Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa bahwa untuk diangkat menjadi perangkat desa seorang warga desa harus memenuhi syarat usia minimal 20 tahun dan maksimal 42 tahun. Berkenaan dengan pengaturan dalam undang-undang mengenai batas usia untuk menduduki jabatan tertentu atau fungsi tertentu dalam pemerintahan, Mahkamah berpendapat tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat disamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon perangkat desa sebagaimana diatur oleh norma a quo.
Maria menegaskan peraturan yang bersifat diskriminatif adalah apabila peraturan itu membuat perlakuan berbeda semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya sebagaimana dimaksud oleh pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif. “Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil Pemohon mengenai Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa tidak beralasan menurut hukum,” tandas Maria. (Lulu Anjarsari)