Konsep ultra petita dalam peradilan tata negara sebenarnya telah dimulai sejak adanya kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat. Hal ini disampaikan oleh Peneliti MK Pan Mohamad Faiz yang menerima kunjungan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, pada Rabu (6/12) di Ruang Sidang MK.
Faiz yang menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa, mengungkapkan pada kasus Marbury vs Madison, permohonan William Marbury kala itu hanyalah agar surat pelantikannya yang ditahan oleh James Madison dapat dikeluarkan. Akan tetapi, lanjut Faiz, Mahkamah Agung AS justru membatalkan undang-undang yang mengatur hal tersebut. Kemudian Faiz melanjutkan, padahal kewenangan Mahkamah Agung AS untuk melakukan pengujian undang-undang sejak 1803 hingga sekarang belum tidak tercantum secara tegas di dalam Konstitusinya. “Artinya cikal bakal judicial review pun berangkat dari putusan ultra petita apalagi setelahnya,” jelas Faiz di hadapan sekitar 30 orang mahasiswa.
Menyinggung kasus Marbury vs Madison, Faiz pun memaparkan bahwa sesungguhnya kasus tersebut bukanlah tonggak awal praktik constitutional review atau judicial review. Pada 1610, telah terjadi kasus judicial review dalam Bonham’s case di Inggris. Menurutnya, seharusnya kasus Marbury vs Madison menjadi kasus landmark decision pertama pengujian undang-undang, bukan menjadi kasus pertama pengujian undang-undang di dunia. “Karena ini pertama kalinya Mahkamah Agung membatalkan undang-undang yang dibuat oleh kongres Amerika Serikat. Harus dibedakan yang pertama terjadi dan yang landmark untuk dijadikan inspirasi pengadilan dan negara lain,” ujarnya.
Terkait pengujian undang-undang, Faiz menyebut terdapat dua model, yakni model desentralisasi (decentralize judicial review) dan model sentralisasi (centralized judicial review). Negara yang menganut model desentralisasi, maka lembaga peradilan dari tingkat pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian undang-undang, seperti yang dilakukan di Amerika Serikat, Filipina dan lainnya. Sedangkan negara yang menganut pengujian undang-undang dengan model sentralisasi, maka menunjuk satu lembaga untuk menjalankan kewenangan menguji undang-undang. “MK RI termasuk yang menganut centralized system. Model ini juga bisa disebut European Model karena berkembang di negara-negara Eropa atau Kelsenian Model karena diciptakan oleh Hans Kelsen,” terangnya.
Hal ini pula, lanjut Faiz, yang membedakan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Agung yang menguji legalitas suatu peraturan di bawah perundang-undangan, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).
Terkait pengujian Perppu, salah seorang mahasiswa mempertanyakan keberanian MK dalam menguji perppu. Menanggapi pertanyaan tersebut, Faiz merujuk pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memuat concurring opinion dari Mantan Ketua MK Mahfud MD. Dalam pendapatnya, lanjut Faiz, Mahfud menjelaskan suatu saat dapat terjadi Perppu dibuat secara sepihak oleh Presiden, bahkan dapat juga dalam keadaan tertentu, ada Perppu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara secara sepihak. Maka MK perlu diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Perppu.
Kemudian Faiz menjelaskan bahwa MK pun sedang menangani pengujian Perppu Ormas dalam waktu sidang yang terbilang cepat. Akan tetapi, sambungnya, baru pada sidang terakhir MK mengetahui Perppu Ormas telah disahkan menjadi UU Ormas. “Maka perdebatannya adalah seberapa cepat MK memutus (pengujian) perppu? Karena masalahnya adalah kecepatan memutus, terlepas dari apapun putusannya nanti,” ujarnya.
Terkait Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Faiz menjelaskan meski kelahiran MKRI terbilang terlambat dibandingkan dengan negara lain, namun ia menyebut MKRI banyak belajar. MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan tersebut, yakni pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, memutus perselisihan hasil pemilihan umum legislatif dan presiden-wakil presiden, dan memutus pembubaran parpol. Sementara satu kewajiban yang diberikan kepada MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).
Usai mendengar paparan mengenai MK, para mahasiswa tersebut mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) yang terletak di lantai 5 dan 6 Gedung MK. Mereka mempelajari sejarah konstitusi serta perkembangannya dengan berbagai sarana interaktif yang modern dan menarik. Selain itu, berbagai hal tentang MK juga dapat diketahui di Puskon MK. Sejak diresmikan, Puskon MK kerap mendapat kunjungan dari berbagai instansi maupun berbagai kalangan masyarakat. Puskon MK memang terbuka untuk umum dan semua pengunjung yang datang tidak dipungut biaya. (Lulu Anjarsari)