Ada perbedaan antara pendapat dengan ujaran kebencian. Pendapat merupakan penilaian, berbeda dengan penyebaran kebencian. Jika hanya mengatakan Pemerintah buruk atau gagal, maka hal tersebut hanya pendapat dan itu tidak dilarang, tetapi jika sudah mengajak orang lain membenci kelompok lain, maka itu persoalan yang berbeda.
Demikian disampaikan oleh Pakar Ilmu Komunikasi Politik Universitas Airlangga Hendri Subiakto yang menjadi Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan atas pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sidang tersebut digelar pada Senin (4/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Hendri, kemerdekaan mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga negara menyampaikan secara lisan dan tulisan secara bebas dan bertanggung jawab. Pendapat atau opini dalam ilmu komunikasi selalu terkait dengan sikap yang dinyatakan secara verbal. Artinya, lanjutnya, dalam sikap itu seseorang sudah menggunakan pikirannya sehingga melahirkan setuju, tidak setuju, suka, tidak suka, atau netral. Dari aspek psikologi, Hendri menambahkan bahwa pendapat adalah ekspresi sikap dan terkadang mengekspresikan sikap itu kadangkala mengganggu orang lain. Ia melanjutkan tidak ada satu pun pasal yang melarang mengekspresikan sikap setuju dan tidak setuju. Terkait pasal yang diujikan Pemohon yang merupakan larangan terhadap perbuatan kejahatan pada hal yang serius, Hendri mengungkapkan hal tersebut tidak ada kaitannya dengan larangan berpendapat.
“Jadi, inti larangan norma ini adalah larangan untuk penyebaran kebencian di dalam mayarakat yang beragam. Dengan keberadaan pasal tersebut, negara melindungi warga negara dari keberagaman. Yang dilarang adalah penyebaran informasi yang melahirkan permusuhan dan penyebaran kebencian,” terang Hendri.
Hendri menyebut penyebaran kebencian yang disebarkan melalui internet atau media sosial saat ini tidak terbatassehingga sangat besar implikasinya. Jika disebarkan dalam bentuk hasutan dan menyebar dan berputar di media sosial berdampak pada konflik dari individu, komunal, dan antarkelompok yang melahirkan disintegritas. Ia menerangkan hasutan akan membuat pelabelan, diskriminasi, kekerasan, dan pada tingkat yang ekstrem dapat memunculkan kebencian kolektif yang berujung pada penyerangan atau persekusi pada dunia sosial dan kehidupan nyata. Jika tidak ada upaya negara dalam hal ini, maka akan terjadi kekacauan, pembumihangusan, dan lainnya.
Dalam kekerasan yang terjadi di beberapa negara, hal ini diawali dengan provokasi atau hasutan yang isinya mengandung unsur ujaran kebencian atau hate speech yang sifatnya menyerang individu, kelompok, yang dianggap sebagai lawan. Masalah ini menjadi serius jika yang diproduksi adalah melahirkan kekerasan bahkan keinginan menghancuran kelompok lain. Namun, pada praktiknya, hate speech ‘bersembunyi’ di balik prinsip-prinsip demokrasi dengan mengacaukannya dengan kebebasan berpendapat. Untuk itu, negara memiliki kewajiban meyakinkan penyebaran ujaran kebencian ini tidak boleh berkembang menjadi kekerasan yang faktual. “Di situlah pentingnya keberadaan pasal ini,” tegas Hendri terhadap perkara yang dimohonkan Habiburokhman.
Dengan adanya Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE negara wajib melindungi semuanya, termasuk dalam kategori di luar suku, agama, dan ras. Kategori antargolongan tersebut terkait dengan berkembangnya masyarakat seperti golongan lain bukan berarti dibiarkan oleh negara.
“Jika hanya dibatasi SAR, maka siapa yang melindungi pengelompokan golongan berdasarkan strata ekonomi, gender, teknologi, politik dan lainnya? Maka, mencoret konsep SARA menjadi SAR, adalah masalah yang serius karena hal ini akan berpotensi pada kekacauan dan negara akan dinilai diskriminatif dan tidak melakukan kewajibannya melindungi warga negaranya,” jelas Hendri.
Kesamaan Identitas
Sementara itu Pemerintah menghadirkan Lidwina Inge Nurtjahyo yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai Ahli. Lidwina menjelaskanpermasalahan ini dengan mengaitkannnya pada konteks antargolongan dalam peraturan perundang-undangan RI. Menurutnya, dalam ranah antropologi hukum dan sosiologi hukum, kata “golongan” dapat ditemukan ketika membahas satuan di dalam masyarakat. Terkait dengan ini terdapat ras, golongan, dan kategori sosial. Ketiga hal ini, sambungnya, terkait dan ada perbedaaan masing-masingnya. Ras pada pembentukannya terkait dengan karakterisitik fisiologis, morfologis, dan kinetik. Sosial ditentukan oleh aspek yang dibentuk pihak luar dalam hal ini pemerintah. Kategori ini digunakan untuk kepentingan perencanan pembangunan dan kata ini cenderung fokus pada pemilahan manusia. Sedangkan, kata “golongan” memiliki kedekatan satu sama lain dan adanya unsur rasa memiliki identitas sama.
“Masalah akan timbul bila mereka yang sama ini membedakan dengan orang lain. Maka, negara punya posisi penting untuk menjaga tidak terjadinya pembeda di antaranya. Bahkan, golongan dapat melahirkan politik golongan atau identitas,” jelas Lidwina.
Terkait dengan peraturan yang dibuat Pemerintah, Lidwina menekankan perlunya peran negara agar tidak terjadi politik identitas. Dengan demikian, lanjutnya, negara justru wajib mempertahankan kata “golongan” dan memiliki arti seluas-luasnya. Menurut Lidwina, akan selalu terbentuk lapisan baru dalam masyarakat dan negara wajib melindungi hal ini. “Maka, sangat tidak tepat menghilangkan kata golongan di dalam aturan perundang-undangan RI,” tegas Ludwina.
Perkara teregistrasi dengan Nomor 76/PUU-XV/2017 dimohonkan Habiburokhman yang berprofesi sebagai advokat. Pemohon melakukan uji materiil Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan pasal a quo merugikan hak konstitusionalnya karena berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi Pemohon. Hal tersebut karena dalam mengeluarkan pendapat terdapat ketidakjelasan definisi pada kata ‘antargolongan’. Selain itu, dalam penerapannya, pasal tersebut bisa diartikan sangat luas menjadi kelompok apapun yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat formal maupun nonformal. (Sri Pujianti/LA)