Berbagai pertanyaan terlontar dari beberapa mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon saat berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (30/11) siang.
“Putusan MK itu final dan mengikat. Pertanyaan saya, apakah putusan MK harus benar-benar dilaksanakan kalau misalnya putusan MK itu tidak sesuai dengan norma-norma agama?” kata Fajar Sodik salah seorang mahasiswa.
Wiryanto selaku Plt. Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi MK menjelaskan bahwa putusan MK itu bersifat erga omnes. “Artinya putusan MK tidak hanya untuk Pemohon tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia,” tegas Wiryanto
Kemudian mengenai pertanyaan putusan MK tidak sesuai norma-norma agama, Wiryanto menerangkan bahwa MK itu tidak hanya mengacu pada norma agama. Menurutnya, ada norma-norma lainnya seperti norma kesopanan dan sebagainya.
Lebih lanjut Wiryanto menanggapi pertanyaan bila putusan MK tidak dijalankan. Ia menyebut MK bukanlah lembaga pengeksekusi putusan. “MK itu bukan sebagai lembaga yang mengeksekusi putusan karena putusan MK merupakan putusan norma. Kalau ada norma yang dibatalkan MK, sejatinya DPR harus mengubah, mengeluarkan undang-undang dan menyatakan norma itu tidak tercantum dalam undang-undang,” jelas Wiryanto.
Pertanyaan berikutnya mengenai putusan MK yang memperkenankan identitas sebagai penghayat kepercayaan masuk dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). “Dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas-jelas disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” urai Wiryanto.
Jadi, kata Wiryanto, kemerdekaan beribadah bagi penghayat kepercayaan memang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. “Putusan MK tidak mengada-ada. Konstitusi memberikan perlindungan hukum bagi para penghayat kepercayaan di Indonesia,” tandas Wiryanto.
Pada pertemuan yang dihadiri 115 mahasiswa itu, Wiryanto menyampaikan materi sejarah terbentuknya MK dan kewenangannya. Menurut Wiryanto, sejarah MK bermula dari era reformasi yang berujung pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
“Mahkamah Konstitusi lahir dari proses reformasi yang bergulir pada tahun 1998 dan diikuti amandemen UUD 1945. Keinginan membentuk MK muncul dalam amendemen, terutama amendemen ketiga,” ungkap Wiryanto.
Mengenai kewenangan MK, Wiryanto menerangkan terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban. Empat kewenangan dimaksud, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU).
Sedangkan satu kewajiban konstitusional yang dimiliki MK yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. (Nano Tresna Arfana/LA)