Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 64 Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Bengkulu, Kamis (30/11). Mereka disambut Peneliti MK Helmi Kasim di Ruang Delegasi Lantai Empat. Dalam kunjungan, dirinya menjelaskan putusan MK yang memasukkan penghayat kepercayaan dalam kolom agama. Helmi menjelaskan ini untuk merespon pertanyaan salah satu mahasiswa. “Sebelum adanya putusan ini, MK telah ada pengujian Undang-Undang Penodaan Agama,” jelasnya.
Dari sini, pembahasan masuk dalam ranah aliran sesat dalam suatu agama. Bahwa aliran sesat secara sederhana adalah ajaran yang menyimpang dari isi pokok agama. Untuk menentukan aliran sesat atau tidak, jelas Helmi, yang menentukan adalah otoritas agama resmi. Pemerintah dalam hal ini tak boleh mengeluarkan pendapat mengenai sesatnya suatu aliran. Namun pemerintah berhak untuk mentertibkan aliran sesat dalam konteks di publik.
Lainnya, pembahasan juga masuk dalam ranah perlindungan agama resmi di Indonesia beserta aliran kepercayaan yang hidup di Indonesia. Pemaknaan perlindungan bagi penganut aliran kepercayaan dimaknai dengan memenuhi kebutuhan hak asasi mereka. Dalam konteks administrasi kependudukan ternyata ini belum terwujud. “Konteks terkini, para penghayat kepercayaan mendapat kesulitan dalam pengisian kolom agama di KTP. Ini membuat mereka harus berpura-pura mencantumkan salah satu lima agama besar di Indonesia,” jelasnya.
Dengan putusan MK ini, lanjut Helmi, akhirnya penghayat kepercayaan mendapatkan secara utuh hak asasinya dalam konteks pelayanan administrasi bernegara. Bahkan seorang Ateis pun, meskipun salah dalam konteks agama, dia tidak boleh direnggut hak asasinya sedikitpun. Hal demikian juga berlaku untuk penghayat kepercayaan.
Di sisi lain, Helmi menyatakan pencantuman penghayat kepercayaan memudahkan pendataan bagi negara. Sebab jumlah mereka saat ini belumlah terdata jelas.
Selain tentang putusan MK terkait penghayat kepercayaan, Helmi menjelaskan tentang perbedaan MK Indonesia dengan MK negara lain. Ini untuk merespon pertanyaan mahasiswa lainnya. Di beberapa negara, kata Helmi, kewenangan MK ada yang menyatu dengan MA. “Saat proses amendemen, sempat ada wacana kewenangan MK masuk ke dalam MA. Namun ditolak karena MA menyebut pihaknya sudah banyak memegang perkara,” jelasnya.
Dia menyebut MK di Hongaria, Jerman, serta Turki memiliki kewenangan constitutional complaint. Helmi menjelaskan kewenangan tersebut tidak ada di MK Indonesia. Di negara lain, Pemohon yang mengajukan permohonan bukan individu atau perseorangan layaknya di Indonesia.
Saat kunjungan, Helmi juga menyinggung sejarah awal berdirinya MK. Lembaga ini lahir saat Indonesia memasuki era reformasi. Melalui proses amendemen Konstitusi yang berlangsung pada 1999 hingga 2002, akhirnya lembaga ini terbentuk. Helmi menyebut MK adalah lembaga pengawal Konstitusi. Setiap warga negara Indonesia dapat menguji suatu UU bertentangan dengan Konstitusi ataukah tidak. Inilah makna bahwa MK juga sebagai lembaga yang melindungi hak konstitusional warga negaranya. (ARS/LA)