PPJ atau Pajak Penerangan Jalan merupakan pajak dengan basis konsumsi yang sesungguhnya PPN yang dipungut, maka seharusnya beban PPJ menjadi tidak lebih besar daripada beban PPN yang menjadi pungutan asli atau tujuan yang sebenarnya dari objek pajak ini. Maka diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi dalam proses pemungutannya. Hal ini disampaikan oleh Dosen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Inayati dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dalam sidang yang digelar pada Kamis (30/11), APINDO selaku Pemohon menghadirkan Inayati selaku Ahli.
Dalam pemaparannya, Inayati menegaskan ada konsep yang tidak boleh dilanggar dalam pajak, yaitu kepastian dalam pemungutan pajak. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, begitu juga dengan Pasal 23A UUD 1945. Kepastian itu penting karena secara prinsipnya pajak secara substansi merupakan pengalihan secara paksa terhadap sumber daya yang dimiliki masyarakat dan dilakukan negara. Intinya, pajak harus dipungut dengan dasar hukum yang jelas. Terhadap PPJ ini, Inayati melihat ada beberapa contradiction interminis. Dari penamaan nama pajaknya, PPJ berarti adanya penerangan jalan. Namun di sisi lain disebutkan pula adanya kewajiban beban pajak atas penggunaan listrik, baik yang dihasilkan sendiri atau sumber lain. “PPJ adalah pajak yang berbasis konsumsi. Jadi ada pilihan-pilihan yang bisa diambil pemerintah atas pengenaannya,” ujar Inayati selaku Ahli Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017.
Selain itu, hal yang terkait dengan PPJ menurut Inayati adalah fungsi alokasi pemerintah yang seharusnya menyediakan layanan dan listrik adalah salah satu yang dinyatakan barang publik. Maka, menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyediakan listrik bagi masyarakat. Inayati menambahkan bahwa dalam UU PPN mengategorikan listrik sebagai barang strategis. Jadi negara harus menyediakan listrik hingga ke pelosok Indonesia. “Dengan demikian, penyediaan listrik jadi tanggung jawab negara, walaupun pada kenyataannya tidak sepenuhnya terpenuhi,” tandasnya.
Kondisi ini memaksa masyarakat menghasilkan listrik untuk berbagai kebutuhan, lanjut Inayati. Bagi perusahaan, menghasilkan listrik ini akan menambah biaya produksi dan ini masalah serius. Dan sesungguhnya, pajak dipungut untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, ironisnya pengorbanan perusahaan tidak dinilai atau diapresiasi pemerintah yang dilihat dengan adanya beban pajak penerangan jalan yang dihasilkan sendiri.
Fungsi Pelayanan Negara
Kemudian Ahli Pemohon lainnya, Robert Endi Jaweng memaparkan desentralisasi atau otonomi dengan keterkaitannya dengan pajak penerangan jalan. Di era desentralisasi dan otonomi, maka daerah dapat berinovasi untuk maju dan bahkan daerah bisa menggunakan fiskal untuk kemajuan wilayahnya. Namun kemudian, ada daerah yang menggunakan kebijakan fiskal ini dengan manupulasi termasuk memberikan beban pada para pembayar pajak. Pajak daerah dalam otonomi tidak bisa disamakan dengan pajak pusat, yang berorientasi pada budgeter untuk pundi-pundi negara. Ia melanjutkan pajak daerah harus berada di tengah yang berarti pajak daerah yang memiliki fungsi pelayanan negara. Pajak daerah dikemukakan dalam paradigma baru. Sebagai paradigma baru, pajak merupakan integral dari sistem kerja pemerintah daerah. ”Maka, urusan kelistrikan yang merupakan basis pengenaan pajak penerangan jalan sudah bermasalah dari hulunya,” jelas Robert di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Robert juga menjelaskan pandangannya mengenai demokratisasi pajak. Dalam hal ini dirinya berpendapat kalau pajak daerah harus menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang menandai hubungan intim warga dan negara. Pajak harus menjadi proses demokratisasi dan secara politik pajak daerah juga harus diterima masyarakat dan dalam hukum harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Robert pun menjelaskan model desentralisasi fiskal yang dianut oleh pemerintah di Indonesia. Menurutnya, pemerintah menganut desentralisasi fiskal pada sisi pengeluaran. Artinya, bukan soal asal uangnya, tetapi mengenai adanya ruang untuk membelanjakan uang. Terkait dengan desentralisasi fiskal di daerah, menurut Robert yang dinilai bukan dari mandiri pendapatan, tetapi kemandirian terhadap penyediaan ruang dari mengeluarkan. Dengan demikian, konsep ini pulalah yang mementahkan argumentasi tingkat kemandirian dari sisi penerimaan pajak bagi daerah. Robert juga melihat bahwa perihal kemudahan berusaha dan intensif fiskal, maka perlulah dilihat bahwa pembangunan daerah tidak sepenuhnya bisa mengandalkan pemerintah daerah. Karena dirinya melihat bahwa kontribusi belanja daerah itu nyatanya 75% dari masyarakat termasuk pelaku usaha.
“Dalam konteks fiskal, tujuan utamanya adalah mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Untuk itu, seharusnya negara memberikan intensif kemudahan aktivitas ekonomi masyarakat dan pajak daerah lagi-lagi penanda hubungan negara dan masyarakat yang sangat penting,” tegas Robert.
Dalam persidangan ini, hadir pula saksi, yakni Jasin Tandiono dan Ruhut Panagaran yang memberikan kesaksian terhadap dampak PPJ bagi perusahaan. Pada intinya, kedua saksi yang merupakan salah satu perusahaan yang mengalami beratnya beban PPJ. “Sesuai perda yang menerapkan PPJ, dampak ini menunjukkan nilai yang terus meningkat. Perusahaan tetap pembayaran PPJ non-PLN dan melakukan penyetoran pada kas daerah dan beban PPJ ini terus meningkat,” cerita Jasin.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon menilai dengan berlakunya UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan Pemohon tidak mendapat perlindungan yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon menilai, seharusnya dalam menjalankan usahanya, Pemohon tidak dikenakan pajak penerangan jalan. Jika harus dikenakan pajak, hanya terbatas pada tenaga listrik yang bersumber dari negara dan digunakan untuk kegiatan nonproduksi. (Sri Pujianti/LA)