Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017, 66/PUU-XV/2017, dan 75/PUU-XV/2017 digelar pada Rabu (29/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon.
Dalam persidangan ini, dihadirkan tiga saksi, yakni Fery Mursidan Baldan selaku Anggota DPR-RI Komisi II yang bertindak sebagai ketua panitia untuk pembuat UU; Teuku Kamaruzaman yang merupakan mantan juru runding GAM; dan Fauziah – anggota KIP Aceh. Pada kesaksiannya, Fery menceritakan proses dalam membuat sebuah undang-undang termasuk UU yang berkaitan dengan regulasi otonomi khususnya Aceh.
Fery menceritakan bahwa UU yang melandasi lahirnya kekhususan Aceh tersebut tidak lain sebagai upaya membangun kepercayaan antara Pemerintah Pusat dan rakyat Aceh yang telah tergerus berbagai ketidaksepahaman dalam berbagai regulasi. Berkaitan dengan KIP, Fery menjelaskan bahwa pembentukannya merupakan suatu bentuk upaya membangun kepercayaan bahwa Anggota KIP Aceh dan Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari KPU untuk penyelenggaraan pemilu. “Melihat UU ini janganlah terbatas pada membaca pada kondisi hari ini, bayangkan ketika 2001, 2006, kehilangan konteks menyebabkan biasnya kita terhadap pemahamanan UU. KIP bukan istimewa, tetapi perlu adanya kepercayaan dalam menjalankan pemilu,” kisah Fery.
Senada dengan Fery, Teuku Kamaruzaman yang merupakan mantan juru runding GAM berbicara bahwa konsep kekhususan yang ada pada Aceh sudah ada sejak masa Presiden Soekarno pada 1948. Pada masa itu terdapat adagium yang menyebutkan bahwa Aceh bisa mengatur serta menjalankan rumah tangga sendiri dan menjalankan syariat Islam. “Jadi, adigium itu adalah sebuah kata dan janji yang diucapkan bagai tulisan yang dituliskan di batu bagi rakyat Aceh,” ingat Kamaruzaman.
Dalam keterangannya, Kamaruzaman menyebutkan bahwa UUPA adalah UU khusus ketiga yang diberikan RI pada Aceh dan lahir dalam perdebatan yang panjang atau debateable. ”KIP Aceh terbentuk karena ada kekhawatiran partai lokal. Maka, UU ini dapat melindungi aspirasi partai lokal ke dalam proses pemilu. Jadi, inilah dasar lahirnya KIP sehingga dalam hierarkinya KIP tetap terhubung dengan KPU,” terang Kamaruzaman.
Sementara itu, Fauziah yang merupakan anggota KIP Aceh menyampaikan bahwa KIP adalah lembaga khusus di Aceh yang syarat-syaratnya pun khusus dan berbeda dengan syarat untuk menjadi anggota KPU. Untuk menjadi anggota KIP, Fauziah bercerita bahwa dirinya diuji membaca Al Qur’an dua kali saat seleksi panitia. Selain itu, Fauziah juga menyampaikan adanya perbedan struktur kepanitiaan dalam KIP, yakni adanya ketua, wakil ketua, dan anggota. Di samping itu, dalam keterkaitan KIP dengan parpol lokal, Fauziah menyebutkan bahwa parpol lokal pun diatur dalam KIP dan dibiayai oleh daerah. “Saat ini ada 7 parpol lokal yang sudah mendaftar di KIP Aceh dan sudah terdapat 5 parpol yang memenuhi syarat, dan ini tidak dilakukan oleh KPU di daerah lain,” sampai Fauziah.
Kekhususan Aceh
Sedangkan, Satya Arinanto yang bertindak sebagai Ahli Pemerintah juga memberikan keterangannya terhadap Perkara 61/PUU-XV/2017, 66/PUU-XV/2017, dan 75/PUU-XV/2017. Berdasarkan risalah persidangan yang dibaca dengan saksama, Satya berpendapat secara substansi pasal a quo justru terkait dengan hubungan hierarki strata pemerintahan. Dalam praktiknya, Satya menilai pembagian yang dimaksudkan tidak hanya tentang pemilu saja, tetapi juga secara kelembagaan Aceh secara keselurusan yang merupakan bagian dari struktur kelembagaan RI. “Jadi, pasal tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Satya.
Di samping itu, pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) yang terdapat dalam UUPA tidak bertentangan dengan konstitusionalitas. Satya menilai pencabutan tersebur dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dan dualisme yang nantinya berujung tumpang tindih. “Maka, UU Pemilu ini butuh perjuangan panjang, terutama tentang pemilu ini yang dibuat sektoral dan tidak mencakup suatu integrasi semua ketentuan tentang pemilu. Dengan kelebihan dan kekurangannya, UU Pemilu ini menyatakan upaya lebih penting dengan memberikan kesempatan pelaksanaan pemilu serentak,” jelas Satya.
Sedangkan, Khairul Fahmi dari Universitas Andalas yang merupakan Ahli Pemohon melalui video konferensi memberikan keterangannya terhadap pasal yang diujikan Pemohon yang dinilai telah mengakibatkan tidak berlakunya UU Pemerintah Aceh (UUPA). Dalam hal ini, Khairul menyampaikan dua pandangannya, yakni terkait dengan sifat hierarki KPU dan penyesuaian kelembagaan terutama untuk keanggotaan KIP Aceh.
Atas batu uji berupa Pasal 18B UUD 1945 yang digunakan dalam perkara ini sebagai suatu upaya untuk mengatasi dualisme panitia pengawas dan penyelenggaraan pemilu di Aceh, Khairul menyebutkan perlu dilihat kembali latar belakang sejarah dan dinamika politik yang pernah terjadi di Aceh. Menurutnya, UUPA mengandung undang-undang yang mengatur kekhususan Aceh yang meliputi berbagai aspek termasuk penyelenggaraan pemillu dengan pembentukan KIP.
“Sehubungan dengan itu, sudut pandang untuk melihat UUPA tidak dapat dilihat secara tematik, melainkan konteks teritorial yang merupakan turunan dari berbagai perjanjian damai antara pemerintah RI dan rakyat Aceh,” sampai Khairul.
Sebagai regulasi yang berlaku khusus, maka materinya tidak dapat diubah dengan cara yang berada di luar UUPA. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum atas pelaksanaan UUPA. Untuk itu ada dua masalah pokoknya, hierarki KIP terhadap KPU maka perlunya dilakukan tinjau terhadap landasan konstitusional yang mengatur pendirian KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. “Dalam UUPA sifat kelembagaan ini tertera bahwa sifat hubungan KPU dan KIP adalah KIP bagian dari KPU tetapi tidak dijelaskan secara hierarki hubungan keduanya. Namun demikian, KIP tetap terikat pada kewenangan secara nasional dengan KPU,” terang Khairul.
Dalam permohonannya, Pemohon Nomor 66/PUU-XV/2017 yang menguji materiil Pasal 557 dan Pasal 571 huruf (d) UU Pemilu mendalilkan kedua pasal yang diujikan berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945. Menurut Pemohon, penyusunan UU Pemilu tidak diawali dengan konsultasi dan pertimbangan dari DPRA sebagaimana diakui dan diberikan oleh Pasal 18B UUD 1945 tersebut. Hal serupa juga dimohonkan oleh para Pemohon Perkara Nomor 75/PU-XIV/2017 menguji Pasal 567 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2), dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang dinilai berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, pasal tersebut telah mengakibatkan tidak berlakunya UU Pemerintah Aceh (UUPA), khususnya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4). Pasal tersebut dinilai memposisikan Aceh memiliki peran yang lebih besar dan mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemilu. (Sri Pujianti/LA)