Kegiatan Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) digelar hingga Kamis (30/11) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Jawa Barat.
Pada hari kedua (28/11), Pakar Hukum Tatanegara Universitas Islam Indonesia Ni’matul Huda selaku narasumber yang dihadirkan memberikan materi mengenai “Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut UUD 1945”. Ia menegaskan bahwa setiap negara didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu sendiri merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Menurutnya, apabila suatu falsafah identik dengan keinginan dan watak bangsanya, maka segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya.
Selain itu, dia mengatakan, dalam perspektif hukum tata negara, pembahasan mengenai konsep negara menjadi penting. Hal itu karena mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan-aturan dasar dalam tata negara untuk membantu memberi pengertian yang lebih tepat pada apa yang bisa dan apa yang telah dirumuskan secara tertulis. “Konsep negara menjadi landasan, atau berfungsi sebagai norma dasar dalam hukum suatu negeri,” ujarnya di hadapan 150 peserta sosialisasi pemahaman hak konstitusi warga negara.
Selain pakar hukum tatanegara, hadir pula Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai yang memaparkan mengenai Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara Menurut UUD 1945. Amzulian mengatakan bahwa terdapat pertentangan konsep hak asasi manusia antara negara barat dengan negara timur. Padahal, dia menilai, perkembangan konsep hak asasi manusia itu tidaklah bisa menghilangkan konsep budaya. Selain itu, dia mengatakan bahwa negara wajib memberi pencegahan terhadap pelanggaran HAM. Karena secara nasional di UUD telah jelas dituliskan mengenai hak asasi manusia tersebut. Kemudian, lanjut Amzulian, secara internasional, terdapat perhatian khusus untuk para perempuan. Sedangkan pada mayoritas kultur belom ada perhatian khusus perempuan.
Sejarah MK
Sementara, materi lainnya mengenai "Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan" disampaikan oleh Staf Ahli Ketua MK Janedjri M. Gaffar. Dalam menyampaikan materinya, ia mengatakan bahwa perkembangan gagasan constitutional review terjadi karena adanya kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803. Ia mengatakan, pada saat itu William Marbury mengajukan permohonan kepada MA agar memerintahkan James Madison selaku secretary of state untuk mengeluarkan keputusan pengangkatan dirinya sebagai hakim agung yang telah ditandatangani oleh Presiden John Adam sebelum digantikan oleh Presiden Thomas Jefferson. Namun, MA Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh John Marshal justru membatalkan ketentuan yang mengatur wewenang MA untuk menerbitkan “writ of mandamus” kepada eksekutif karena bertentangan dengan prinsip separation of powers.“Hal itulah yang menjadi dasar tradisi constitutional review MA Amerika Serikat,” ujar Janedjri di hadapan peserta.
Pada tahun 1920, lanjut Janedjri, muncul gagasan Hans Kelsen yang mengatakan agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan gagasan constitutional review Indonesia sudah ada pada saat Moh. Yamin dalam sidang BPUPKI, namun usulan tersebut ditolak oleh Soepomo.
Kemudian, Janedjri memaparkan adanya Perubahan UUD 1945. Dia mengatakan bahwa UUD 1945 mengalami perubahan satu kali yang dilakukan dalam empat tahap. Setelah UUD 1945 berubah, struktur ketatanegaraan berubah menjadi horizontal-fungsional. Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa di awal Mahkamah Konstitusi dibentuk, tidak semata-mata untuk kepastian hukum saja. Namun juga untuk memberikan kemanfaatan untuk kepentingan umum.
MK mempunyai kewenangan yang luar biasa sebagai the guardian of ideology and constitution, the final interpreter of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights. Keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan ini merupakan sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan untuk menjaga konstitusi diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah terhadap UUD 1945.
Penutupan
Sosialisasi pemahaman hak konstitusi warga negara bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia resmi ditutup oleh Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Budi Achmad Djohari, di Ruang Aula Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Jawa Barat, Kamis (30/11).
Dalam sambutannya, Budi mengucapkan terimakasih atas antusias peserta dalam mengikuti kegiatan. Dia mengharapkan agar para peserta dapat bekerja sama dengan MK untuk meningkatkan pemahaman hak konstitusi warga negara dengan menyebarluaskan ilmu yang di dapat kepada masyarakat.
Selain itu, Budi juga memohon maaf atas kekurangan pelayanan yang diberikan oleh panitia dan akan meningkatkannya pada kegiatan yang akan datang di lain kesempatan. “Kami akan meningkatkan berbagai hal untuk kedepannya,”ujar Budi Achmad Djohari di hadapan para peserta sosialisasi pemahaman hak konstitusi ini.
Sementara Sekjen KPI Dian Kartikasari mengatakan bahwa pelatihan ini membuka wawasan bagi peserta. Menurutnya, pelatihan ini merupakan pengalaman yang baik yang diperoleh peserta sosialisasi. “Untuk itu, saya mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada KPI untuk mengikuti kegiatan ini,” ujar Sekjen KPI di hadapan para peserta.
Setelah kegiatan ini, ia mengharapkan para perempuan dapat berperan dan mempunyai ruang khusus yang tidak bisa dimasuki oleh laki-laki. (Utami/LA)