Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Senin (14/1), untuk perkara No. 18/PUU-V/2007 yang dimohonkan oleh Eurico Guterres dengan Kuasa Hukumnya, M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., PhD. Persidangan ini mengagendakan Mendengarkan Keterangan Komnas HAM dan Ahli dari Pemohon.
Pemohon meminta MK menguji Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM terhadap UUD 1945. Pasal 43 ayat (2) menyatakan: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasannya tertera: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Dalam persidangan ini, Ahli dari Pemohon, Prof. Dr. M. Arif Amrullah, S.H., M.Hum berkesimpulan bahwa campur tangan DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc justru menciptakan ketidaksinkronan dalam sistem peradilan pidana karena DPR sebagai lembaga politik pada prinsipnya tidak pernah memiliki wewenang penyelidikan. âSelain itu, menjadi janggal pula ketika pengadilan HAM ad hoc hanya dibentuk berdasarkan Keppres padahal menurut Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, peradilan dibentuk berdasarkan undang-undangâ papar Pengajar Sistem Peradilan Pidana di Universitas Jember ini.
Menanggapi pertanyaan Kuasa Hukum Pemohon apakah MK bisa menjadi lembaga sinkronisasi sistem peradilan pidana, Ahli menjawab bahwa berdasarkan prinsip cost and benefit MK bisa menjadi lembaga penyinkron sistem peradilan pidana karena jika harus menunggu peran DPR maka harus menunggu lebih lama lagi sebab masih banyak beban RUU yang belum disahkan oleh DPR.
Pada persidangan ini sebenarnya mengagendakan pula mendengar keterangan Komnas HAM, namun Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim berkirim surat ke MK yang menerangkan bahwa dia sedang sakit sehingga pada kesempatan ini belum bisa didengar keterangannya. Sidang selanjutnya mengagendakan pembacaan putusan. Namun sebelum itu, Ketua MK memberi waktu bagi para pihak untuk menyerahkan kesimpulan tertulisnya. (Wiwik Budi Wasito)