Ketua DPR Setya Novanto yang menjadi tersangka dugaan korupsi KTP-el menguji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Setya Novanto tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 95/PUU-XV/2017 dan 96/PUU-XV/2017. Sidang perdana perkara tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/11) siang.
Pada Perkara 95/PUU-XV/2017, Pemohon menguji Pasal 46 ayat (1) UU KPK yang menyebutkan, “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.” Selain itu, Pemohon menguji Pasal 46 ayat (2) UU a quo yang berbunyi, “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.”
Terhadap ketentuan Pasal 46 UU KPK, Pemohon beralasan bahwa Anggota DPR mempunyai hak imunitas terhadap sentuhan hukum sebagaimana dijamin oleh Konstitusi. Pemohon beranggapan bahwa Pasal 46 UU KPK bertentangan dengan hukum acara yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab ketentuan itu mengabaikan ketentuan lain di dalam KUHAP mengenai proses pemeriksaan tersangka.
Di samping itu, ketentuan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang menyatakan pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden.
“Mahkamah juga pernah memberikan putusan sebelumnya, yakni Putusan No. 76/PUU-XII/2014 tertanggal 22 September 2015 mengenai keharusan penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan atau pemanggilan terhadap anggota DPR harus dengan seizin Presiden. Sebelumnya dalam UU MD3 ada keharusan dengan izin Mahkamah Kehormatan Dewan. Tetapi setelah ada putusan MK, maka pemeriksaan harus seizin Presiden,” kata Fredrich Yunadi selaku kuasa Pemohon.
Pemohon berpendapat bahwa izin tertulis dari Presiden diperlukan agar seorang anggota DPR tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas dan wewenanganya. Hal ini sesuai dengan Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011.
Uji Aturan Meninggalkan Negara
Sementara pada Perkara 96/PUU-XV/2017, Pemohon menguji Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK yang menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : … b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.”
Pemohon menilai ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK menghalangi warga negara memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pemohon menilai pasal tersebut mencegah seseorang meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa penetapan status hukum atas suatu tindak pidana, sehingga menghilangkan hak dan kebebasan warga negara untuk meninggalkan wilayah negara.
Pemohon mendalilkan, tindakan pencegahan yang dilakukan KPK bertentangan dengan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) dirinya. Sebab pencegahan itu dilakukan saat status Pemohon masih sebagai tersangka. Fredrich mengatakan, seharusnya status pencegahan itu gugur ketika hakim tunggal Cepi Iskandar dalam putusan praperadian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan status tersangka Ketua DPR pada 29 September 2017.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberi saran agar Pemohon merevisi pasal yang diuji mengingat pasal-pasal tersebut pernah diajukan ke MK. Pemohon, lanjut Saldi, harus memberikan argumentasi berbeda dengan permohonan sebelumnya.
”Pasal yang diujikan ini sudah beberapa kali diuji. Pemohon harus menunjukkan ada perbedaan antara pasal yang sebelumnya diuji dengan pasal yang sekarang diajukan ke MK. Perbedaan itu bisa terletak pada batu ujinya atau pada hal lainnya yang harus diungkapkan dalam argumentasi Pemohon. Sebab kalau tidak, permohonan Pemohon ini bisa dianggap sebagai nebis in idem,” terang Saldi.
Kemudian, Saldi menambahkan pemahaman umum di antara hakim konstitusi bahwa anggota DPR tidak memiliki kedudukan hukum juga diutarakan sebagai salah satu hal yang harus dicermati oleh Pemohon. Menurut Saldi, Pemohon harus bisa menunjukkan dirinya dikecualikan dari pemahaman umum tersebut.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon agar menguatkan kedudukan hukumnya. Dalam permohonan terdahulu, misalnya Pemohon pernah diloloskan saat mengajukan uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
”Pemohon harus bisa meyakinkan Mahkamah bahwa pasal-pasal yang dipersoalkan itu bertentangan dengan Konstitusi. Sebab KPK memiliki spesialisasi dan kewenangan-kewenangan khusus yang memang diatur dalam undang-undang. Nah, bisa tidak Pemohon mematahkan argumentasi hukum itu,” tandas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)