Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada Selasa (28/11) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ketua Komnas Perempuan Azriana selaku Pihak Terkait.
Azriana menjelaskan bahwa UU Penodaan Agama merupakan norma yang melakukan pengingkaran terhadap jaminan konstitusional bagi warga negara. Misalnya, jaminan atas kepastian hukum, kebebasan beragama, rasa aman, dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, serta jaminan bebas dari diskriminasi yang diatur dalam Pasal 28D sampai dengan I dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
“Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini sebelumnya, yaitu dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Perkara Nomor 84/PUU-X/2012 dinyatakan undang-undang a quo masih diperlukan. Namun rumusannya belum dapat dikatakan sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan,” urai Azriana kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Lebih lanjut, Azriana membenarkan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Namun dalam melakukan pembatasan negara dihadapkan pada beberapa prasyarat yang ketat yang harus diuji kelayakannya oleh negara termasuk dalam hal ini oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam melakukan pembatasan, negara terikat pada kaidah-kaidah yang tidak boleh diabaikan, termasuk dalam pelaksanaan tanggung jawabnya dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak seseorang.
“Hal yang diatur di dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 merupakan pembatasan yang termasuk dalam kategori hak yang tidak bisa dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun, yaitu hak kebebasan berpikir, hati nurani, dan menetapkan pilihan agama sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” papar Azriana.
Memberi Ruang
Sementara itu, Catur Wahyudi selaku Ahli Pemohon menyampaikan keterangan sebagai sosiolog yang memiliki perhatian cukup tinggi terhadap fenomena permasalahan jemaat Ahmadiyah di Indonesia yang eksistensinya dipandang kontroversial. Bahkan oleh kalangan Islam mainstream dinilai sesat dan menyesatkan.
“Era reformasi yang terjadi di Indonesia menjadi era perubahan politik ke dalam ranah demokrasi dengan arus utama isu hak asasi manusia yang makin kuat. Oleh karenanya, era ini sejatinya memberi ruang yang cukup longgar bagi jemaat Ahmadiyah saat itu dan juga anggota-anggotanya untuk memberikan pengabdiannya yang makin kuat kepada masyarakat di bumi pertiwi ini,” ungkap Catur.
Tetapi, sambung Catur, di tengah arus besar demokrasi dan hak asasi manusia yang diagungkan di negeri ini, tekanan yang dialami jemaah Ahmadiyah tak kunjung surut. Ancaman demi ancaman terus saja terjadi dari perusakan tempat ibadah, kekerasan fisik, bahkan terjadi pembunuhan. Semua berawal dari catatan Pemerintah yang pada awalnya menyatakan bahwa kehadiran jamaah Ahmadiyah di Indonesia mendapat penolakan dari umat Islam.
“Penolakan-penolakan tersebut hadir dalam bentuk pernyataan keberatan hingga perusakan bangunan, seperti rumah, masjid, mushala milik Ahmadiyah di berbagai wilayah. Sementara kasus yang dialami dari para Pemohon merupakan peniadaan hak setiap warga untuk menganut aliran dan melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang,” tegas Catur.
Dijelaskan Catur, adanya kasus tersebut secara sosiologis merupakan fakta yang dikonstruksikan oleh pemahaman dari sejumlah warga masyarakat atau bahkan organisasi masyarakat Islam yang kontra terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sehingga penafsirannya menggerakkan pandangan, pendapat, opini, dan bahkan tindakan-tindakan yang dapat melawan hukum dengan perasaan menegakkan kebenaran.
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 56/PUU-XV/2017 ini diajukan oleh warga negara Indonesia yang aktif dalam Komunitas Ahmadiyah. Pemohon mendalilkan adanya norma yang diujikan, membuat mereka kesulitan melakukan ibadah. Selain itu, para Pemohon menyebut hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut mereka, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) hingga pengusiran para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. (Nano Tresna Arfana/LA)