Pelaksanaan otonomi daerah harus dijaga. Ini adalah buah perjuangan panjang desentralisasi pemerintahan. Otonomi daerah menggambarkan keinginan untuk membendung kecenderungan sentralisme dan konsentrisme di dalam pengelolaan negara dan mengurus kepentingan rakyat.
Demikian paparan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. di hadapan Bupati Siak, H. Arwin AS, S.H., Wakil Bupati Siak, Drs. H. O. K. Fauzi Jamil selaku Ketua Lembaga Adat Masyarakat Riau (LAMR) Kabupaten Siak, Sekretaris Daerah Drs. H. Adli Malik, Ketua Pengadilan Negeri, Aswijon S.H., M.H., jajaran Muspida, para Tokoh Adat Siak Sri Indrapura, Dosen HTN/HAN, dan para Guru PKn se-Kabupaten Siak, Jumat (11/1), di Siak, Riau.
Menanggapi rasa syukur Bupati Siak karena buah reformasi telah melahirkan otonomi daerah sehingga memungkinkan Siak kembali bangkit secara ekonomi-sosial-budaya, Jimly mengatakan hal ini perlu dijaga dan dimanfaatkan sebaik-baiknya supaya tidak mundur lagi sebagaimana perjalanan sejarah Indonesia yang pernah maju-mundur dan timbul-tenggelam dalam melaksanakan desentralisasi.
Terkait sejarah di atas, Jimly menceritakan bahwa sebelum Indonesia merdeka, the founding leaders sudah mendiskusikan panjang-lebar tentang bentuk negara ini apakah sebagai negara kesatuan atau federal. Bung Hatta sebagai co-proclamator, lanjut Jimly, sejak mahasiswa sudah terlibat dengan ide federal. Diskusi ini sudah berlangsung sejak tahun 1930-an. Lalu menjelang kemerdekaan, di dalam sidang-sidang BPUPKI yang memperbincangkan rumusan UUD 1945, ada diskusi dan tukar pikiran sehingga ditemukanlah kompromi yaitu membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tapi dengan otonomi daerah yang luas kepada pemerintah daerah. âMaka itulah yang menjadi roh perdebatan Pasal 18 UUD 1945. Itu juga yang menjadi roh perdebatan NKRI,â urai Jimly.
Namun, lanjut Jimly, ketika Indonesia baru berdiri dan UUD 1945 saat itu belum banyak yang tahu, hal ini menyebabkan realisasinya tidak mudah. Maka, contoh Jimly, tiga bulan kurang empat hari Indonesia sudah membentuk kabinet parlementer pertama dengan Perdana Menteri, Sjahrir. âPadahal, kata UUD 1945, Indonesia bukanlah negara parlementer tapi presidensiil, tidak ada Perdana Menteri. Inilah contoh UUD 1945 tidak dijadikan pedoman. Jadi itu contoh apa yang sudah diputuskan ternyata tidak mudah direalisasikan,â ungkapnya.
Karena saat itu Indonesia tergolong negara baru dan masih perlu konsolidasi kekuasaan, sambung Jimly, dengan wilayah negara yang besar dan penduduk yang banyak serta masalah yang begitu kompleks karena sudah dijajah ratusan tahun, maka pemerintah republik ini memerlukan kebijakan sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan. Itulah yang berjalan dalam praktik bahkan ketika Indonesia mengalami berbagai masalah seperti RIS, kemudian kembali ke UUDS 1950, berbagai pemberontakan, agresi Belanda, dan seterusnya, sehingga semangat otonomi daerah tidak lagi diprioritaskan dalam pemerintahan orde lama.
Dari rentetan kejadian di atas, urai Jimly, maka pada waktu tahun 1965-1966 ada revolusi yang memunculkan kembali ide otonomi daerah. Begitu terjadi revolusi kemerdekaan muncullah ide otonomi daerah, begitu muncul lagi revolusi dari orde lama ke orde baru muncul lagi semangat otonomi daerah melalui TAP MPRS 1967. Tapi hal ini tidak berlangsung lama karena pada 1974 keluar lagi undang-undang tentang penyeragaman pemerintahan daerah dan pemerintahan desa. âMaka muncul lagi gejala orang lupa kepada otonomi daerah,â cerita Jimly.
Puncak sentralisme adalah pada periode 1980 â 1990-an. Maka ketika reformasi, urai Jimly, pada 1998 muncul lagi gairah otonomi daerah dan ada TAP MPR tentang otonomi daerah bahkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie keluarlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. âInilah naik tenggelamnya sejarah otonomi daerah. Bedanya kini, selain semangat otonomi daerah dimasukkan dalam undang-undang, juga termasuk di dalam UUD 1945. Inilah yang membedakan otonomi daerah sekarang dengan 1967 dan 1945. Kini jaminan berjalannya otonomi daerah lebih aman dari upaya resentralisasi karena sudah termasuk dalam konstitusi,â jelas Jimly.
Untuk itu, Jimly berpesan, Pancasila dan UUD 1945 sebagai pegangan persatuan harus dipahami dengan benar bahwa bangsa Indonesia harus bersatu dalam wadah NKRI yang di dalamnya mementingkan menjaga keanekaragaman. Maka, Jimly meminta Pancasila janganlah disempitkan maknanya. âSila kedua Pancasila tidak menyatakan Kesatuan Indonesia, tapi Persatuan Indonesia. Persatuan itu berisi keanekaragaman, sedangkan Kesatuan berarti ketunggalan. Mengapa kita mesti bersatu, karena kita beraneka ragam,â ujar Jimly.
Sebelum mengakhiri sambutannya, Jimly mengingatkan para peserta untuk menggunakan kesempatan (otonomi daerah) ini sebaik-baiknya untuk membangun kemakmuran bagi rakyat sekaligus untuk menghidupkan kearifan-kearifan budaya lokal. (Wiwik Budi Wasito)