Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Selasa (28/11). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 79/PUU-XV/2017 tersebut dimohonkan Pengurus Organisasi Angkutan Darat (Organda), yakni Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organda Andrianto Djokosoetomo serta Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organda Ateng Aryono. “Amar putusan menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada persidangan pendahuluan, para Pemohon mendalilkan MK telah memutus pengujian Pasal 139 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) vide Putusan MK Nomor 78/PUU-XIV/2016 terkait adanya keharusan bagi penyedia jasa angkutan online memiliki badan hukum. Putusan MK tersebut dinilai Pemohon memperkuat keberadaan Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ yang kemudian secara implementatif diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek (Permenhub Nomor PM.26/2017). Akan tetapi, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 menyatakan Permenhub Nomor PM.26/2017 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut Pemohon, Putusan Mahkamah Agung Nomor 37/P/HUM/2017 secara substantif bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIV/2016.
Terhadap Pokok Permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pertimbangan hukum mengungkapkan bahwa putusan MK yang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 karena objeknya adalah undang-undang, maka berlaku secara umum. Dengan demikian, putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma UU bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak hanya berlaku bagi pihak yang mengajukan permohonan. Akan tetapi, berlaku untuk semua warga negara. “Artinya semua pihak, termasuk penyelenggara negara terikat dengan keputusan MK,” jelas Wahiduddin.
Untuk itu, Wahiduddin menyebutkan bahwa Pasal 55 UU MK sudah sangat jelas sehingga tidak memerlukan tafsir lain. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat kerugian yang dialami para Pemohon bukan disebabkan oleh inkonstitusionalnya norma UU yang dimohonkan. Bahkan Mahkamah melalui putusan Nomor 78/PUU-XIV/2016 yang berbunyi “... sebuah perusahaan aplikasi penyedia jasa angkutan umum meskipun hanya menjual aplikasi online bagi masyarakat tentunya harus juga didukung oleh Perusahaan Angkutan Umum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang juga berbadan hukum...” telah secara tegas mewajibkan angkutan online berbadan hukum adalah konstitusional.
Sementara berkenaan dengan pelaksanaan oleh peraturan yang lebih rendah dari UU, Wahiduddin menyampaikan hal tersebut bukan kewenangan Mahkamah untuk menilainya dan kepatuhan terhadapnya tidak terkait dengan Pasal 55 UU MK. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” jelas Wahiduddin. (Sri Pujianti/LA)