Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya uji materiil Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (28/11). MK menyatakan pokok permohonan Perkara Nomor 45/PUU-XV/2017 tidak beralasan menurut hukum. “Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Hakim Anwar Usman selaku pimpinan sidang membacakan putusan.
Abdul Wahid yang tercatat sebagai Pemohon, merupakan Anggota DPRD Provinsi Riau Periode 2014 – 2019. Pasal 7 huruf s UU Pilkada yang diujikan dinilai melanggar hak konstitusional serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon beranggapan syarat seseorang harus mundur dari DPRD jika ingin maju menjadi gubernur, menghalangi haknya untuk dipilih. Pemohon hendak maju menjadi Gubernur Riau dalam Pilkada Serentak Tahun 2018.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, Mahkamah menimbang Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon merupakan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 bertanggal 8 Juli 2015. Maka, Pemohon tidak relevan lagi untuk mempersoalkan norma tersebut. “Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ucap Aswanto.
Aswanto yang membacakan amar Putusan Mahkamah Nomor 33/PUU-XIII/2015 menyebut Pasal 7 huruf s sepanjang frasa “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan DPR bagi anggota DPR, kepada Pimpinan DPD bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Lebih lanjut, Aswanto menyampaikan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, kemudian oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) dijadikan dasar untuk mengubah UU Nomor 8/2015. Sehingga Pasal 7 huruf s UU 8/2015 yang semula menyatakan,
“Memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD.”
menjadi:
“Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”
Sedangkan dalil Pemohon mengenai cuti bagi calon petahana, Aswanto menjelaskan Mahkamah merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-VIII/2008 yang dijadikan pembentuk undang-undang membuat ketentuan persyaratan bagi Calon Kepala Daerah. Ketentuan tersebut mengatur terhadap kepala daerah petahana tidak perlu mengundurkan diri secara tetap, tetapi cukup dengan mengajukan cuti di luar tanggungan negara seperti diatur dalam Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016. Berbeda halnya dengan anggota DPR, DPD, DPRD. Aswanto merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, Mahkamah secara tegas menyatakan harus mengajukan pengunduran diri secara tertulis sejak ditetapkan menjadi peserta pemilihan kepala daerah.
“Dengan mendasarkan pada kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa Calon Kepala Daerah yang berasal dari kepala daerah petahana tidak harus mengundurkan diri tetapi hanya mengajukan cuti di luar tanggungan negara, sedangkan calon kepala daerah yang berasal dari anggota DPR, DPD, DPRD harus mengajukan surat pengunduran diri sejak ditetapkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil Pemohon sepanjang mengenai anggota DPR, DPD, DPRD tidak harus berhenti tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya. (ARS/LA)