Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Soeroso menerima 50 mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas PGRI Yogyakarta pada Selasa (21/11) siang di ruang delegasi MK.
Pada kesempatan itu, Fajar menanggapi putusan MK terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang isinya bahwa penghayat kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
“MK memutus soal identitas keagamaan sebagai legal policy baru. Ini justru momentum bagi negara untuk lebih dekat dengan warganya. Apakah negara tidak punya kewajiban untuk melindungi warga negara sebagai penghayat kepercayaan? Kan tidak. Karena tujuan kita negara, salah satunya adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Itu kewajiban konstitusional negara, dalam hal ini pemerintah,” tambah Fajar kepada para mahasiswa.
Dikatakan Fajar, MK memulihkan kembali sebagian hak-hak konstitusional para penghayat kepercayaan. “Legal policy baru itulah yang kemudian berlaku final dan mengikat. Meskipun ada yang tidak setuju. Putusan MK tetaplah putusan MK. Tidak ada yang lebih tinggi dari putusan MK. Karena MK merupakan penafsir akhir dari konstitusi. Sembilan orang Hakim MK bisa membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh 560 anggota DPR ditambah Presiden,” kata Fajar.
Lebih lanjut Fajar menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK Republik Indonesia. Kewenangan pertama MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan berikut MK adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. MK juga memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa perselisihan hasil pemilu dan wajib memutus pendapat DPR jika Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum.
“Yang belum pernah ada perkaranya adalah memutus pembubaran partai politik dan memutus pendapat DPR jika Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum,” urai Fajar.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya, sambung Fajar, dipandang memberikan kontribusi dalam pembangunan hukum, demokrasi, politik yang demokratis dan lainnya.
“Kami sangat menyayangkan kalau kemudian orang melihat MK dari sisi keburukannya saja. Misalnya ketika MK hanya dikaitkan dengan Kasus Akil Mochtar. Sampai ada yang katakan, kalau ada hakim MK yang terlibat kasus suap dan korupsi, apakah putusan MK tetap bersifat final dan mengikat?” ungkap Fajar.
Mengenai pertanyaan tersebut, Fajar menerangkan bahwa putusan MK tetap final dan mengikat. “Putusan MK tetaplah putusan MK. Bahwa ada hakim yang ‘bermain mata’ apalagi sudah terbukti, maka hakim itu diproses secara hukum. Tetapi putusan MK tetaplah putusan MK yang bersifat final dan mengikat,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana/LA)