Sebanyak 76 mahasiswa S1 dan S2 hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), (21/11). Dalam agenda tersebut, mahasiswa disambut oleh Peneliti MK Nallom Kurniawan di Ruang Delegasi MK.
Perwakilan UKSW Umbu Rauta menyebut kunjungan ini sudah sering dilakukan pihaknya setiap dua sampai tiga tahun. “Tujuannya untuk mengetahui secara komprehensif informasi tentang MK. Terlebih tentang informasi riil yang terjadi di lapangan,” jelas Dosen Hukum UKSW ini.
Dalam keterangannya, Nallom mengawali diskusi dengan menceritakan kegiatan short course yang baru saja digelar MK. Dalam acara tersebut, MK menjadi tuan rumah bagi 13 delegasi negara Anggota Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Lembaga Sejenis se-Asia. “Di sana, kami berbicara tentang demokratisasi dan Pancasila di Indonesia,” ujarnya.
Nallom menerangkan penjelasan yang disampaikan oleh salah satu pembicara dalam kursus singkat tersebut, Yudi Latief. Mengutip Yudi, Nallom mengemukakan Indonesia adalah negara yang heterogen. Secara ras penduduk Indonesia tergolong ras Mongoloid. Di Indonesia juga terdapat 700 suku dengan 400 bahasa daerah. Namun Indonesia berhasil menerapkan sistem demokrasi di atas keberagaman yang ada. “Fakta di atas menurut saya menegaskan Indonesia adalah negara paling demokratis di dunia. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, Indonesia jauh lebih beragam,” tegasnya.
Dalam konteks MK, Nallom menerangkan lembaga ini termasuk bagian penguatan sistem demokrasi di Indonesia, yakni sebagai lembaga peradilan untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). Apalagi MK berwenang dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pasca terbentuknya MK, ia menjelaskan undang-undang sifatnya bisa dikritisi karena setiap warga negara dapat mengajukan judicial review ke MK.
“Sebelum era reformasi, undang-undang adalah representasi kekuatan mayoritas politik dalam membentuk suatu aturan. Undang-undang yang telah disahkan tidak dapat dibatalkan sama sekali saat orde baru,” ujarnya.
Mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie, Nallom menyebut warga Indonesia mesti bersyukur, sebab diberikan hak untuk boleh mengajukan judicial review ke MK. Di beberapa negara, misal Cekoslowakia, warganya tak dapat mengajukan judicial review ke lembaga sejenis. “Bahkan di Ceko, persidangan MK tidak terbuka untuk publik. Hanya momen-momen tertentu saja dengan diskresi hakim, persidangan dapat dibuka untuk umum,” jelasnya.
Usai diskusi berakhir, agenda masuk sesi pertanyaan. Mahasiswi bernama Prisilia bertanya tentang upaya MK dalam mensosialisasikan UUD 1945 dan putusannya. Pertanyaan berikutnya diajukan mahasiswa bernama Adi. Bagaimanakah implementasi pasca putusan MK terkait penghayat kepercayaan dapat masuk kolom agama di KTP.
Nallom menjawab upaya sosialisasi putusan MK serta sosialisasi UUD 1945 dilakukan oleh beragam cara. Pada periode kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, MK meluncurkan UUD 1945 versi braille. Selain itu, juga dikeluarkan UUD 1945 dalam beragam bahasa daerah. “MK juga melakukan acara sosialisasi terkait Konstitusi bagi kelompok elemen masyarakat yang rutin diselenggarakan di Pusdik Pancasila dan Konstitusi,” tegasnya.(ARS/LA)