Suharto menyampaikan sejumlah perbaikan dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) pada Senin (20/11) siang. Sidang Perkara Nomor 87/PUU-XV/2017 tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Suhartoyo.
Pemohon yang hadir tanpa kuasa hukum menjelaskan sudah melakukan perbaikan dari permohonan yang pertama. Perbaikan tersebut terkait dengan dalil permohonan. “Walaupun sepertinya agak berbeda antara yang pertama dan yang perbaikannya. Tetapi, esensi filosofinya sama ialah bahwa itu sebuah kenyataan objektif. Seperti kami pernah membaca di media massa bahwa di Bonn terdiri dari ribuan orang yang mempermasalahkan persoalan perubahan iklim,” urai Suharto.
Sedangkan di Indonesia, lanjut Suharto, ia telah baca ada opini di media massa tentang aksi kebangsaan. “Sepertinya memang berbeda antara problem internasional global dan nasional negeri kita sendiri. Namun sebenarnya menurut hemat kami, itu pada esensi filosofinya di akar permasalahannya. Hal itu akhirnya mengerucut pada satu titik. Itu kondisi di negeri kita ini,” ungkap Suharto.
Kemudian pada bagian petitum Pemohon dijelaskan argumentasi bahwa Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut menyebutkan, “Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor”.
“Menurut hemat kami, perlu ada penjelasan lebih operasional detail oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian tidak memiliki makna ganda, bahkan triple, bisa multiple, sehingga terjadi nanti yang namanya misunderstanding. Pengertian misunderstanding nanti bisa terjadi yang namanya inefisiensi komunikasi, inefisiensi manajemen, inefisiensi demokrasi, akhirnya inefisiensi sistem,” ujar Suharto.
Dikatakan Suharto, inefisiensi ini akhirnya merugikan banyak pihak. Bukan hanya perseorangan sendiri, mungkin juga kepentingan hal yang sama oleh para dosen. “Tetapi juga, dampak lebih luas itu menyangkut kepentingan demokrasi di negeri ini. Implikasinya lebih besar karena persoalan demokrasi di negeri ini akan berpengaruh sangat luas dalam tataran kehidupan global. Saya kira itu Pak Hakim,” imbuh Suharto.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya di Malang yang menguji Pasal 48 ayat (3) UU a quo. Pemohon sudah bekerja hampir 30 tahun dan terhalang akibat berlakunya Pasal 48 ayat (3) UU a quo karena tidak dapat naik pangkat. Dikatakan Suharto, menurut hasil penelitian, kenaikan pangkat atau jabatan itu memiliki implikasi yang sangat luas terhadap kesejahteraan dosen. Dengan kata lain, sambung Suharto, urgensi UU Guru dan Dosen adanya kata kualifikasi tanpa penerjemahan baku dari pihak-pihak, terutama dari pihak kompeten dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi akan menimbulkan penafsiran yang macam-macam. (Nano Tresna Arfana/LA)