Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU Perfilman) terhadap UUD 1945, Rabu 9 Januari 2008 pukul 10.00 WIB di ruang sidang pleno MK dengan agenda Mendengarkan Keterangan Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pihak Terkait (LSF, PARFI, PARSI). Sidang ini dihadiri oleh Ir. Jero Wacik, S.E. (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata), Drs.Lukman Hakim Syaefuddin (Kuasa Hukum DPR), Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, SU (Kuasa Hukum DPR), Titie Said (Ketua LSF), Anwar Fuadi (Ketua PARSI), dan Jenny Rahman (Ketua PARFI).
Permohonan ini diajukan oleh lima orang Pemohon yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI). Kelima orang itu antara lain, Annisa Nurul Shanty K. (Aktris), Muhammad Rivai Riza (Produser film), Nur Kurniati Aisyah Dewi (Produser film), Lalu Rois Amriradhiani (Penyelenggara Festival Film), dan Tino Saroengallo (Pengajar dan Sutradara Film). Yang dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 4 Bab V, Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), Pasal 34 Ayat (1), (2), (3), Pasal 40 Ayat (1), (2), (3), dan Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan tentang Penyensoran melanggar Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 serta menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada sidang tadi Lukman Hakim Syaefuddin perwakilan dari DPR mengatakan bahwa keberadaan Sensor Film sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 Bab V adalah untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman. Kalaupun Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman membatasi pelaksanaan hak dan kebebasan seseorang, itu adalah semata-mata untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, pertimbangan nilai-nilai agama, pertimbangan keamanan dan pertimbangan ketertiban umum dalam suatu masyrakat demokratis. Menurut Lukman Hakim Syaefuddin keberadaan Pasal 1 angka 4 Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 sesungguhnya tidak bertentangan sama sekali dengan Konstitusi, justru pembatasan itu dilakukan dalam rangka agar arah dan tujuan dari penyelengaraan perfilman Indonesia.
Sedangkan keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Ir. Jero Wacik, S.E. (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata), mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman yang diajukan oleh para pemohon menurutnya tidak fokus, kabur dan tidak jelas terutama dalam mengargumenkan dan atau mengkonstruksikan kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang timbul karena keberlakuan ketentuan-ketentuan aquo, dimana Pemohon hanya mengutarakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang yang dimohonkan untuk diuji khususnya Pasal 1 angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40 dan Pasal 41 ayat (1) huruf B UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dianggap tidak memberikan klasifikasi terhadap jenis film dan reklame film yang dilakukan penyensoran.
Selain itu, Jero Wacik mengatakan bahwa pemerintah tidak sependapat dengan argumentasi dan atau dalil-dalil dalam permohonan aquo sebagaimana telah diuraikan, karena menurut pemerintah ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 angka (4), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40 dan Pasal 41 ayat (1) huruf B Undang Undang No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman adalah dalam rangka perlindungan umum General Prevention terhadap masyarakat pada umumnya guna mendapatkan informasi film dan reklame film yang baik, sehat dan mendidik. Jero Wacik juga menambahkan film dan reklame film yang diproduksi, diedarkan, dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada masyarakat atau penonton diharapkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya, moral, ketertiban umum maupun nilai-nilai agama.
Pemerintah berpendapat penyensoran yang dilakukan oleh LSF terhadap film dan reklame film yang tidak sesuai dengan nilai-nilai seni budaya, moral, ketertiban umum, kesusilaan dan nilai-nilai agama tidaklah serta merta dianggap sebagai pembatasan terhadap para pemohon untuk berkomunikasi, menyimpan dan mengolah informasi. Kenyataannya menurut Jero Wacik, para pemohon diberikan keleluasaan dan kebebasan untuk berekspresi, berimprovisasi dan berkarya melalui film dan reklame film asalkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Senada dengan Pemerintah, Titi Said selaku Ketua LSF mengatakan bahwa LSF berupaya membentengi nilai luhur dan budaya bangsa, ini dikarenakan didorong oleh adanya penetrasi budaya luar yang destruktif yang lama-lama akan menyebabkan abrasi terhadap budaya bangsa sendiri. Apabila mekanisme sensor yang dilakukan oleh LSF dianggap bertentangan dengan Undang-Undang maka siapa yang kan menyaring penetrasi budaya luar melalui film-film tersebut. Sedangkan Jenny Rahman (Ketua PARFI) beranggapan bahwa LSF tentunya sudah bekerja berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada. Menurutnya PARFI sendiri sebagai wadah penghimpun, pemersatu dan penyalur daya kreasi serta perjuangan artis film akan mendorong dinamika para artis film agar senantiasa dapat berkarya memajukan film Indonesia dengan tidak meninggalkan budaya-budaya bangsa Indonesia dengan penuh tanggung jawab. PARFI juga berkeinginan dan tetap sepakat bahwa LSF masih diperlukan sebagai alat kontrol guna melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran pertunjukan ataupun penayangan film yang tidak sesuai dengan dasar dan arah tujuan perfilman Indonesia. Pada kesempatan yang sama Anwar Fuadi, Ketua PARSI juga menambahkan apabila film-film yang ada unsur sex dan film masalah pelecehan agama tidak disensor dan dibiarkan tanpa adanya sensor bagaimana nasib moral bangsa ini, ujarnya.
Sebelum menutup persidangan tadi Ketua Majelis Hakim Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menegaskan bahwa Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., Gunawan Muhammad, Seno Gumiro Aji Darma, Muhammad Fadrul Rahman, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Aril Haryanto, M.A, Jumrotin KS, Dr. Efendi Ghazali, Mira Lesmana, Dian Sastro Wardoyo, dan Jafar akan didatangkan sebagai Ahli dan Saksi dari Pemohon dan diharapkan dari Pemerintah juga menghadirkan Saksi atau Ahli pada sidang berikutnya. Terkait dengan beberapa pertanyaan dari Majelis Hakim kepada Pemohon, Pemerintah dan DPR, Ketua Majelis Hakim Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H mengatakan dapat disampaikan pada sidang berikutnya ataupun disampaikan secara tertulis melalui Panitera Mahkamah Konstitusi. (Prana Patrayoga Adiputra)