Mahkamah Konstitusi menerima kunjungan 96 mahasiswa hukum gabungan Universitas Terbuka (UT) serta Universitas Bung Karno (UBK), Jumat (17/11). Dalam kunjungannya, mereka disambut Peneliti MK Fajar Laksono di Ruang Delegasi MK.
Dalam pemaparan awal, Fajar menjelaskan bahwa MK merupakan lembaga peradilan hasil dari amendemen ketiga UUD 1945. Menurut Fajar, MK adalah tempat peradilan norma sehingga tidak bergantung pada bukti materiil, seperti di kasus pidana. "Ini menuntut pihak yang berperkara mesti dapat menyusun konstruksi berpikir yang logis. Bagaimana menyusun argumen misal suatu pasal bertentangan dengan Konstitusi," tegasnya.
Fajar juga menerangkan bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Yakni mengurus sengketa perselisihan hasil pemilu, pembubaran partai politik, menguji UU dengan UUD 1945 serta mengurus sengketa lembaga negara. Adapun kewajiban MK adalah memutus pemberhentian presiden dan wakil presiden setelah mendengar pendapat dari DPR.
Selain itu, Fajar menjelaskan semua produk undang-undang bersifat final dan tidak bisa dikritisi pada zaman Orde Baru. Kondisi demikian, lanjut Fajar, yang membuat MK lahir. Para perumus amendemen ketiga UUD 1945 merasa perlu adanya lembaga yang dapat menguji undang-undang. "Tugasnya memastikan suatu undang-undang koheren dengan Konstitusi," tegasnya.
Fajar menyebut undang-undang merupakan produk politik dan hasil dari kristalisasi kepentingan politik di DPR. Maka, MK menjadi lembaga satu-satunya penafsir undang-undang di Indonesia untuk memastikan norma suatu pasal di undang-undang tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Kemudian, kewajiban MK terkait memutuskan pemberhentian presiden dan wakil presiden sebagai upaya agar proses pemakzulan tidak sebatas dalam koridor politik semata, namun mesti masuk juga dalam proses hukum. Fajar menyebut kasus pelengseran Presiden Gusdur menjadi contoh nyata pemakzulan sebelum MK berdiri terjadi pada 2001. "Proses yang terjadi adalah full proses politik karena tak ada campur tangan peradilan," jelasnya.
Fajar menegaskan makin populernya kajian HTN saat ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan MK. Dirinya menyebut MK menjadi objek kajian yang menarik dengan wewenangnya yang dapat membatalkan undang-undang sehingga putusan MK banyak dijadikan kajian oleh publik. (ARS/LA)