Pada kegiatan hari ketiga, Kursus Singkat bagi Perwakilan Mahkamah Konstitusi Negara Lain, Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan pembekalan materi dari beberapa Ahli Konstitusi Indonesia di Ruang Jasmine, Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, Rabu (15/11). Pada kesempatan pertama, Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-Pancasila) Yudi Latief menyampaikan makalah berjudul “Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu: Latar Belakang dan Sejarah”.
Dalam pemaparannya, Yudi menyebutkan Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan kepulauan yang membentang hampir 5.000 kilometer dari barat ke timur dan terdiri dari lebih dari 16.000 pulau dengan sekitar 6.000 di antaranya adalah pulau yang dihuni. Dengan wilayah yang begitu luas, bahkan Yudi menyebutkan perbandingan perjalanan ketika mengarungi Kepulauan Indonesia tersebut setara dengan perjalanan dari London ke Moskow. Wilayah dengan 240 juta penduduk serta adanya keragaman etnis dan budaya lebih dari 500 kelompok etnis dan 600 bahasa yang berbeda melahirkan berbagai karakter orang di Indonesia. Mengutip Denys Lombard, \"Memang, tidak ada satu tempat pun kecuali mungkin di Asia Tengah seperti Nusantara/Indonesia yang menjadi tuan rumah dan merupakan rumah bagi kehadiran semua peradaban besar yang hidup berdampingan dan /atau konvergen menjadi satu aliran,” Yudi menunjukkan gambaran dari seorang Denys yang melihat adanya nebula socio-cultural yang membentuk peradaban Nusantara (Jawa pada khususnya), yakni Indianisasi, Islam dan China, serta aliran barat lainnya. Hal inilah yang kemudian menurut Yudi, menjadikan Indonesia tumbuh dalam lintas budaya yang membuat bangsa Indonesia semakin kaya.
Yudi menegaskan, di balik keberagaman dan kekayaan tersebut, Indonesia dihadapkan pada tantangan dalam konektivitas dan integrasi. Dalam paparan yang disampaikan dihadapan 20 peserta kursus singkat dari beberapa negara tersebut Yudi menegaskan bahwa segala permasalah atau tantangan tersebut telah ditengahi oleh Pancasila sebagai prinsip pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Yudi menambahkan jika kelima sila dalam Pancasila tersebut dikonversi, seperti halnya yang disampaikan Soekarno, “Jika saya mencapai inti prinsip-prinsip itu, lima sampai tiga, tiga menjadi satu, maka saya akan sampai pada satu kata asli bahasa Indonesia yakni gotong royong”. “Maka berdasarkan hal tersebut jelaslah, Indonesia adalah negara yang dalam dasar negaranya terkandung penanaman semangat gotong-royong,” sampai Yudi yang didampingi oleh Peneliti MK Bisariyadi selaku moderator.
Di samping itu, Yudi juga menjelaskan bahwa prinsip gotong-royong tersebut harus mampu mengembangkan kesatuan dalam keragaman. “Artinya, melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia bukanlah kebangsaan yang menghilangkan perbedaan dan keragaman atau menolak persatuan,” jelas Yudi. Berkaitan dengan demokrasi, Yudi menerangkan bahwa prinsip demokrasi yang dijalankan di Indonesia juga harus mengandung prinsip gotong royong yang kemudian diharapkan mampu mengembangkan proses deliberatif dan bukan demokrasi yang didikte oleh mayoritas atau oleh beberapa elit dari kelompok-kelompok tertentu saja.Selanjutnya, Yudi juga menjelaskan terkait prinsip kesejahteraan sosial, gotong royong tersebut harus mampu mengembangkan partisipasi dan emansipasi yang lebih luas di bidang ekonomi dengan semangat persaudaraan, bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme, tetapi juga bukan yang menindas kebebasan individu atau fisik manusia.
Pancasila dan Tantangan Globalisasi
Menurut Yudi, beragam masalah global dan lokal kontemporer yang mungkin saja dihadapi Indonesia, sebenarnya telah diantisipasi oleh Pancasila. Sebagai contoh, Yudi menyebutkan prinsip pertama Pancasila yang menekankan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno mengatakan, “Negara Indonesia harus menjadi negara yang masing-masing dan setiap orang dapat percaya dan berdoa kepada Tuhan mereka secara bebas. Semua orang seharusnya memiliki Tuhan dalam kehidupan mereka dengan cara budaya, yaitu tanpa egotisme agama”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa prinsip Ketuhanan dengan kebajikan tinggi dari seluruh manusia, Ketuhanan tersebut mampu menghormati satu sama lain, sampai Yudi yang mengutip pemahaman Soekarno terhadap sila pertama Pancasila.
Pada akhir pemaparan, Yudi mempekuat argumen dengan kesimpulan bahwa dalam lima prinsip Pancasila, negara dan bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang visioner dan awet.Setiap asas Pancasila memiliki kemampuan untuk terlibat dan mengkonsolidasikan sekularisme radikal versus radikalisme agama; homogenisme kebangsaan versus tribalisme atavistik; nasionalisme chauvinistik versus globalisme; pemerintahan otokratik versus demokrasi pasar invidualistik; dan etatisme ekonomi versus kapitalisme.
Partai Politik di Indonesia
Pada kesempatan kedua, Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan juga membagikan ilmu dan pengalamannya pada peserta kursus singkat MK dengan memaparkan makalah berjudul “Perubahan Partai Politik di Indonesia”. Dalam penjelasannya, Maruarar mengisahkan perjalanan panjang partai politik di Indonesia. Menurutnya, dalam sistem demokrasi di Indonesia keberadaan partai politik sebagai lembaga yang melakukan rekrutmen calon-calon legislator dan pimpinan pemerintahan, baik pusat dan daerah adalah sesuatu hal sangat penting. Tanpa keberadaannya, tidak dapat dibayangkan adanya suatu negara yang demokratis tanpa partai politik. Indonesia yang berlandaskan negara hukum dengan mendasarkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar, mengartikan diri sebagai negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan demokratis. “Oleh karenanya reformasi yang terjadi pada 1998 dengan kejatuhan pemerintahan Orde Baru, maka pembaruan dilakukan dengan perubahan konstitusi karena beberapa masalah yang dihadapi berakar pada aturan dalam konstitusi,” terang Maruar yang didampingi Peneliti MK Helmi Kasim selaku moderator.
Pada hakikatnya, Maruarar menegaskan terjadinya perkembangan dalam pengaturan konstitusi turut menumbuhkan lahirnya partai politik sebagai akibat kekebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh negara. Adapun mengenai rumusan tentang partai politik di Indonesia, menurut Maruarar telah mengalami sejarah yang panjang sejak kemerdekaan. “Ketika Pemilihan umum menjadi suatu instrumen demokrasi yang dilaksanakan secara teratur dan sungguh-sungguh demokratis, yang jauh dari rekayasa penguasa atau pemerintah yang sedang berkuasa, dan reformasi telah membawa Indonesia memasuki transisi dari negara dengan sistem otoriter menuju negara yang demokratis,” terang Maruarar.
Namun demikian, di Indonesia pengelolaan pertumbuhan partai politik ini diatur oleh konstitusi. Salah satunya dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat saja membubarkan suatu partai politik yang dinilai bertentangan dengan falsafah negara.
Usai mendapatkan materi, para peserta kursus singkat pun diberikan kesempatan untuk tanya jawab bahkan berdiskusi secara terbuka mengenai konstitusi yang diterapkan di negara- masing-masing perwakilan perserta yang hadir. Dengan demikian, satu sama lain peserta kursus singkat MK diharapkan mendapatkan pengetahuan dan wawasan penerapan konstitusi dari berbagai negara. (Sri Pujianti/LA)