Sebanyak 148 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Yarsi berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (16/11). Dalam kunjungannya mereka disambut
Plt. Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Wiryanto di Ruang Delegasi Lantai 4.
Dalam kunjungan tersebut, rombongan Universitas Yarsi yang dipimpin Muhammad Kharis. Saat pembukaan, ia menyebut kunjungan ini dilakukan untuk menggali terkait penerapan grasi dalam konteks hukum di Indonesia. Sebelum ke MK, rombongannya sudah berkunjung ke Sekretariat Negara.
Wiryanto menjelaskan secara singkat terkait fungsi dan peran MK. Selain itu, dirinya akan menjelaskan secara singkat sejarah awal berdirinya MK. MK, lanjutnya, berdiri saat reformasi terjadi di Indonesia ketika UUD 1945 mengalami amendemen sebanyak empat kali. Hal ini membuat dihapuskannya lembaga tertinggi negara di Indonesia. “Dulu MPR adalah lembaga tertinggi negara saat era orde baru. Namun pasca-amendemen berubah statusnya sebatas menjadi lembaga tinggi negara,” jelasnya.
Saat orde baru, ujar Wiryanto, kekuasaan presiden juga begitu kuat. Di sisi lain, banyak pasal dalam Konstitusi sebelum amendemen bersifat multitafsir. Ini menjadi alasan amendemen dilakukan. Wiryanto menerangkan MK adalah lembaga peradilan baru yang dibentuk setelah amendemen Konstitusi. Salah satu tugasnya adalah menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Sebab pasca-amendemen semua lembaga negara sifatnya sejajar, yakni menjadi lembaga tinggi negara. Analoginya jika lembaga negara ‘saling bertengkar’, maka MK yang menjadi saluran penyelesaiannya.
“Kewenangan MK lainnya, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden,” tegasnya.
Dalam sejarah awal, ide pembentukan MK sudah digagas oleh Muhammad Yamin pasca kemerdekaan Indonesia, yakni diperlukannya suatu lembaga peradilan yang memiliki tugas menguji konstitusionalitas suatu undang-undang. Hal tersebut bisa diperankan oleh Balai Agung (Mahkamah Agung). “Ide tersebut ditolak Soepomo karena saat itu jumlah sarjana hukum di Indonesia belumlah banyak,” jelasnya.
Terkait asas kepastian hukum dalam grasi, Wiryanto menerangkan selama UU yang menyangkut grasi telah disahkan DPR, maka kepastian hukum telah terjadi. MK dalam konteks grasi tugasnya sebatas menilai konstitusionalitas norma. Hal tersebut dilakukan jika ada yang mengajukan permohonan uji materiil UU tentang grasi. Usai materi dan diskusi, acara dilanjutkan dengan kunjungan ke Pusat Sejarah Konstitusi dan menonton di Sinema Konstitusi. (ARS/LA)