Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 70 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kamis (16/11). Khaeruddin dan Alungsyah yang berprofesi sebagai advokat tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-XV/2017. Keduanya mempermasalahkan frasa ‘setiap waktu’ dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP. Pasal a quo menyatakan “Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.”
Dalam persidangan tersebut, hadir kedua Pemohon tanpa diwakili kuasa hukum. Alungsyah menilai frasa ‘setiap waktu’ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon menjelaskan penasihat hukum yang hendak berkunjung kepada kliennya saat proses penyelidikan maupun penyidikan menjadi terhambat dalam praktik yang terjadi di lapangan akibat berlakunya aturan a quo. Hal tersebut tak hanya dirasakan Pemohon saja selaku advokat, namun juga untuk semua penasihat hukum lain yang ada di Indonesia.
“Dalam petitum, kami meminta frasa ‘setiap waktu’ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai kapan pun yang tidak memiliki batas waktu, termasuk hari libur, asalkan guna kepentingan atau pembelaan perkaranya,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Manahan MP Sitompul.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memandang tak ada norma yang bermasalah dalam perkara ini, tetapi pelaksanaan atau implementasi di lapangan yang mungkin bermasalah. Ia melihat tafsir norma dalam frasa “setiap waktu” itu sebetulnya cukup luas. Akan tetapi, dalam penerapannya barangkali itu terkait dengan peraturan internal instansi institusi yang menjadi kendala. “Artinya, terbentur kepentingan Anda selaku penasihat hukum pada waktunya harus ke sana, tapi Lembaga Permasyarakatan sudah memiliki jadwal waktu kunjungan,” jelasnya.
Serupa dengan hal tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyebut permohonan Pemohon terkait masalah implementasi norma. Pemohon yang merasa tidak dapat berkunjung kapanpun sewaktu-waktu merasa terlanggar hak konstitusionalnya, padahal setiap instansi memiliki jadwal kunjungan yang berbeda-beda. (ARS/LA)