Aturan penggunaan toga bagi advokat diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana uji materiil Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (16/11). Batara Paruhum Radjagukguk tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 89/PUU-XV/2017 tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji materiil Pasal 25 UU Advokat yang dianggap bersifat diskriminatif. Pasal 25 UU Advokat menyatakan, “Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon meminta penggunaan toga bagi advokat wajib dalam seluruh perkara di pengadilan karena selama ini kewajiban memakai toga hanya berlaku dalam sidang perkara pidana. Victor P Sinaga selaku kuasa hukum, menjelaskan pasal a quo menimbulkan ketidakpastian hukum dan beda perlakuan. Menurut Pemohon, toga adalah ciri khas advokat sebagai penegak hukum. “Jika kondisi ini dibiarkan akan menurunkan citra dan jati diri advokat sebagai penegak hukum,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Ketidakseragaman ini, lanjut Victor, menyebabkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon dalam menjalankan profesinya. Selain itu, hak konstitusional Pemohon merasa dilanggar untuk mendapat perlakuan yang sama. Victor juga melakukan perbandingan penggunaan toga bagi hakim yang sifatnya wajib. Hal demikian mestinya juga diterapkan bagi advokat. “Berkenaan dengan kenyataan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan a quo agar ada keseragaman dalam penggunaan Toga bagi advokat dalam semua pengadilan kecuali ditentukan lain oleh undang-undang,” tegasnya.
Atas dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memandang sisi kerugian hak konstitusional Pemohon masih tidak jelas. Ia meminta agar Pemohon memperkuat argumentasi pasal a quo dinilai bertentangan dengan UUD 1945. “Jadi hubungan kausalitasnya apa? Norma apa yang dilanggar oleh Pasal a quo? Bukan langsung melompat menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 tanpa argumentasi,” tegasnya.
Ia menyarankan agar Pemohon menguraikan alasan aturan toga hanya diperuntukkan bagi perkara pidana untuk dijadikan dalil. “Selain itu, permintaan Pemohon untuk mengubah isi pasal a quo tidaklah benar. Sebab MK tak memiliki kewenangan untuk membuat UU,” ujarnya.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto menegaskan MK hanya menangani permasalahan konstitusionalitas suatu UU. Ia membaca permohonan Pemohon belum jelas menguraikan masalah kerugian konstitusionalnya. “Pandangan Pemohon terkait pasal a quo sebatas urusan masalah praktik. Alasan toga wajib dipakai di seluruh pengadilan karena supaya gagah atau lebih berwibawa. Hal ini bukan argumen tentang kerugian konstitusional,” tegasnya. (ARS/LA)