Setiap orang dapat ikut mengabdikan kiprah dan menyumbangkan pikiran serta tenanganya guna memajukan olahraga nasional melalui berbagai macam cara dan saluran yang tersedia. Misalnya sebagai pejabat publik, seperti gubernur atau anggota DPRD, dapat memberikan kemudahan-kemudahan sarana dan prasarana olahraga dengan membantu memperjuangkan pengalokasian anggaran keolahragaan dalam pembahasan anggaran pendapatan belanja daerah. Atau menjadi anggota donatur tetap pada salah satu cabang olahraga daerah, atau menjadi salah satu ketua umum cabang olahraga. Hal-hal tersebut tidak dilarang oleh undang-undang.
Namun, untuk menghindari timbulnya konfilk kepentingan (conflict of interest) maupun dalam rangka menjaga netralitas dalam pembinaan keolahragaan nasional, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) memberikan batasan agar pengelolaan tersebut dapat dilakukan secara profesional dan fokus, yakni dengan melarang pejabat publik merangkap jabatan menjadi ketua umum KONI.
Demikian antara lain rangkuman pernyataan yang diberikan oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault dan Anggota DPR RI H.M. Akil Mochtar saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian Pasal 40 UU SKN di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1).
Menurut Adhyaksa, ketentuan dalam Pasal 40 UU SKN yang melarang pengurus KONI dijabat oleh pejabat publik merupakan bentuk perlindungan umum bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi memajukan olahraga Indonesia. Karena itu, lanjutnya, Pemerintah berpendapat ketentuan tersebut justru telah memberikan jaminan atas terciptanya kepastian hukum dan rasa keaadilan dalam masyarakat. Utamanya adalah memberikan kesempatan yang sama terhadap masyarakat setiap orang yang bukan sebagai pejabat publik maupun struktural. âKalau Ketua KONI dijabat oleh gubernur/wakil gubernur belum tentu satu kali dalam sebulan hadir ke lapangan, apalagi jangkauan wilayah kita sangat luas, sebab perlu fokus,â tegas Menpora yang juga mantan Ketua Umum KNPI ini.
Lebih lanjut Adhyaksa juga menambahkan, mengenai alasan pendanaan, di dalam Pasal 69 UU SKN telah secara jelas diatur bahwa pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sehingga tanpa rangkap jabatan antara Ketua KONI dengan gubernur atau anggota DPRD sekalipun, jaminan akan pendanaan bagi olahraga akan tetap ada.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Akil Mochtar yang hadir sebagai Kuasa Hukum DPR RI. Akil menegaskan Bahwa kemandirian suatu Komite Olahraga Nasional Provinsi, Kabupaten/Kota diperlukan untuk menegaskan prinsip transparan dan akuntabilitas yang pada pokoknya memberikan peluang mekanisme kontrol untuk menghilangkan kekurangan dan penyimpangan, sehingga tujuan dan sasaran keolahragaan nasional dapat tercapai.
Oleh karenanya, menurut Akil, untuk menjaga netralitas dan keprofesionalan pengelolaan keolahragaan, perlu diatur mengenai kepengurusan komite olahraga agar tidak terkait dengan jabatan struktural dan jabatan politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 UU SKN. âYang boleh menjadi pengurus KONI dan menjadi induk pengurus olahraga itu adalah bukan pejabat publik, bukan pejabat struktural, sehingga olahraga ini diurus dengan sepenuh waktu dan tidak membuka peluang adanya KKN yang dilakukan oleh pejabat-pejabat KONI atau pejabat induk organisasi yang merangkap jabatan-jabatan di pemerintahan,â ungkapnya.
Akil juga menambahkan, Gubernur sebagai kepala daerah, mempunyai tugas dan wewenang untuk menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
âApabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2001 tentang KONI yang menyatakan bahwa anggaran untuk melaksanakan kegiatan keolahragaan juga berasal dari bantuan APBN dan APBD, maka hal itu akan menjadi rancu di mana pada satu pihak sebagai gubernur penentu APBD tetapi di pihak lain sebagaiKetua KONI, dia juga menjadi penerima APBD itu sendiri,â imbuhnya.
Bukan Diskriminasi
Mengenai ketentuan Pasal 40 UU SKN yang hanya mengatur pengurus KONI bukan merupakan pejabat publik sementara ketentuan yang sama tidak berlaku pada induk cabang olah raga, baik Pemerintah maupun DPR sependapat bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu bentuk diskriminasi.
âPemohon mengatakan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalil Pemohon tersebut keliru, mengingat Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional diberlakukan sama terhadap semua jabatan publik yang dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus KONI,â kata Akil yang juga merupakan politisi asal Partai Golkar ini.
Sedangkan menurut Pemerintah, pembatasan terhadap pejabat struktural dan pejabat publik untuk menjadi ketua komite olah raga nasional pusat, provinsi maupun kabupaten/kota tidaklah dapat serta-merta dianggap sebagai perlakuan yang bersifat diskriminatif karena pembatasan atau pembedaan yang dilakukan tersebut tidak berdasarkan atas agama.
âYang namanya diskriminatif, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Pasal 2 ayat (1) ICCPRâInternational Covenant on Civil and Political Rights, itu (bila dilakukan) atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik,â tandas Menpora Adhyaksa Dault.
Pengujian Pasal 40 UU SKN yang berbunyi âPengurus Komite Olahraga Nasional, Komite Olah Raga Provinsi, Komite Olahraga Kabupaten/Kota yang sifatnya mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publikâ dimohonkan oleh Ketua KONI Surabaya Saleh Ismail Mukadar yang juga Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur dan Ir. Syahrial Oesman Gubernur Sumatera Selatan yang merangkap Ketua KONI Provinsi Sumatera Selatan.
Para Pemohon menganggap ketentuan tersebut telah menghilangkan makna perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di depan hukum, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Para pemohon juga menganggap bahwa Pasal 40 UU SKN telah terbukti sangat diskriminatif karena ketentuan tersebut hanya diberlakukan bagi pengurus komite olahraga sedangkan pengurus olah raga untuk suatu cabang olahraga tidak dilarang dijabat oleh pejabat publik. Padahal menurut para Pemohon, dengan dijabat oleh gubernur, bupati/walikota maka KONI Daerah akan terbantu dalam melakukan pembinaan dan memajukan olahraga di daerah terutama dalam hal penyediakan anggaran dan pendanaan olahraga. [ardli]