Ketentuan sanksi pidana terhadap jaksa penuntut umum yang melakukan maladministrasi tidak sejalan dengan doktrin hukum pidana. Hal ini disampaikan Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita selaku Ahli yang diajukan oleh Noor Rachmad, dkk., selaku Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 tentang uji materiil UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sidang kelima pengujian UU SPPA dilaksanakan pada Rabu (15/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Romli sebelumnya menjelaskan bahwa Kejaksaan masih termasuk kedalam pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurutnya, kejaksaan tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman, meski memiliki fungsi berbeda. Maka seharusnya dalam menjalankan fungsinya, lanjut Romli, jaksa tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun sebagaimana hakim.
“Kejaksaan juga termasuk kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terpisahkan dengan hakim, tidak berarti sama, fungsinya berbeda, tapi dia berada dalam satu lingkup kekuasaan kehakiman yang merdeka ketika menjalankan fungsinya. Karakter kekuasan yang merdeka, yakni Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di bawahnya dan kejaksaan merupakan salah satu bagian juga dari kekuasaan kehakiman yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Terkait sanksi pidana terhadap jaksa yang melakukan maladministrasi dalam pengadilan pidana anak, Romli menyebut seharusnya sanksi yang diberikan cukup melalui sanksi administrasi. Ia menilai sanksi pidana dapat mengakibatkan hakim maupun jaksa enggan menangani kasus pidana anak yang berimbas pada stagnansi proses peradilan pidana anak. Salah satu solusi yang diajukan Romli adalah melaporkan pada Komisi Yudisial.
“Katakanlah tadi, dengan adanya ketentuan pidana, ancaman pidana dua tahun terhadap baik hakim, jaksa, maka yang akan terjadi adalah stagnan. Tidak ada yang mau hakim dan jaksa yang mau menangani perkara anak. Pertanyaannya, risiko yang terkecil yang mana yang terbaik? Tidak ada pidana seharusnya, cukup dengan ketentuan sanksi administratif. Ada Komjak, ada Komisi Yudisial. Saya kira sudah cukup dengan cara-cara seperti itu,” tegasnya.
Noor Rachmad, dkk., yang berprofesi sebagai jaksa dan juga terdaftar sebagai Anggota PJI, mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 99 UU SPPA. Pasal 99 UU SPPA menyatakan, “Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.
Menurut Pemohon, Pasal 99 UU SPPA berpotensi memidana para penuntut umum yang melakukan maladministrasi dalam menjalankan wewenang dalam perkara pidana anak. Pasal tersebut dinilai mengintervensi independensi jaksa, padahal seharusnya kesalahan yang bersifat adminstratif dari seorang jaksa dipertanggungjawabkan kepada atasan dalam struktur dan jenjang pengawasan yang sudah disediakan oleh peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam UU Kejaksaan.
Selain itu, Pemohon menganggap pemidanaan atas pelanggaran hal yang bersifat administratif seharusnya tidak dapat diawasi dan dikoreksi oleh kekuasaan yudikatif (dalam hal ini adalah peradilan pidana). Pengawasan koreksi oleh sebuah peradilan pidana atas pelanggaran tersebut, dapat dikatakan sebagai intervensi kekuasaan lainnya. Untuk itulah, Pemohon meminta agar MK membatalkan keberlakuan Pasal 99 UU SPPA. (Lulu Anjarsari)