Korupsi kini telah menjadi permasalahan yang multidimensional menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, dalam sambutannya pada Festival Konstitusi dan Anti Korupsi, yang berlangsung di Auditorium Djokosoetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Senin, (13/11).
Menurut Arief, korupsi merupakan penyalahgunaan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kasus korupsi, menurut Arief, apapun bentuknya dalam perspektif hukum ketatanegaraan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
“Berhukum di Indonesia harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Uang hilang bisa dicari lagi, motor raib dicuri bisa membeli lagi, harta berkurang bisa ditambah, akan tetapi saat kepercayaan hilang, maka akan hilang segala-galanya. Ingkar terhadap kepercayaan berarti menandakan seseorang telah menistakan martabatnya sebagai manusia, di hadapan sesama, apalagi di hadapan Tuhannya,” ujar Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro itu.
Dalam sambutannya, Arief memberikan analisis, bahwa pada setiap kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara ataupun tidak, menunjukkan pola yang sama, yaitu penyelewengan kepercayaan yang ditumpukan atau diamanatkan pada dirinya. Dari fakta yang ada dapat ditemukan banyaknya varian persoalan penyebabnya, sehingga dapat dikatakan korupsi mencakup permasalahan yang kompleks dan multidimensional. Hal itu pula yang menyebabkan perjuangan melawan korupsi selalu terbentur dinding yang tebal dan tinggi.
Arief mengingatkan kepada para hadirin, jika mencermati secara implisit bahwa pesan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 kepada seluruh warga bangsa bahwa semua pikiran, perkataan, dan perbuatan sebagai manusia Indonesia, dalam menjalankan apapun jabatan atau profesi, pada waktunya semua akan dipertanggungjawabkan di hadapanTuhan. Makna Indonesia sebagai negara berketuhanan terkandung dalam UUD 1945.
“Manakala dihubungkan dengan korupsi dan pemberantasan korupsi, maka nilai ketuhanan tersebut mestinya menjadi pencegah dan pengontrol moral kita semua. Ketika sewaktu-waktu pikiran kita tersasar dalam perjalanan, tergoda akan sesuatu hal yang tidak suci saat kita diamanahi suatu kepercayaan, maka nilai ketuhanan memberikan desakan gaib yang membimbing nurani kita untuk segera tersadar, dan segera kembali ke jalan yang benar,” tegas Arief.
Satu Atap di Bawah MK
Dalam kesempatan itu, narasumber yang hadir menegaskan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu lembaga, untuk menjamin harmonisasi peraturan dari atas hingga peraturan yang paling bawah. Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan dalam praktiknya, sering dijumpai peraturan di bawah UU yang sudah sesuai dengan Konstitusi, namun justru memiliki pertentangan dengan UU lain. Di sisi lain, Maruar melanjutkan ada juga Undang-Undang yang salah dan menyebabkan peraturan di bawah Undang-Undang juga menjadi salah.
Maruarar juga mencermati proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung yang dilakukan dengan cara hanya memeriksa berkas. Menurut Maruarar, hal tersebut pernah disampaikan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam kesimpulannya, Maruarar melihat pentingnya mekanisme pengujian undang-undang dilakukan oleh satu lembaga. Dengan mengingat beban perkara yang begitu banyak di Mahkamah Agung (MA), Maruarar menilai sangat beralasan jika kewenangan tersebut berada di MK.
Namun demikian, hal tersebut dirasa Maruarar sulit dilakukan mengingat pembagian kewenangan tersebut ditegaskan dalam UUD 1945, meski MK harus membuat tafsir baru terhadap konstitusi. “Sehingga jalan satu-satunya yang dapat dilakukan adalah perubahan UUD 1945,” ujar Maruarar.
TAP MPR Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
“Mestinya Hierarki Perundang-Undangan dimulai dengan Undang-Undang dan Perpu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, letak TAP MPR berada di atas Undang-Undang, karena UUD aturan dasar negara, TAP MPR ini mengisi kekosongan yang ada dalam UUD dan perintahnya hanya kepada presiden,” demikian ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Ruang Budi Harsono FH UI.
Menurut Maria, dengan TAP MPR yang masih berlaku, maka dapat masuk dalam dasar hukum seperti TAP MPR yang mengatur Reformasi Agraria. Meski demikian TAP MPR tidak perlu masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, melainkan hierarki peraturan-peraturan negara.
“Dengan Perubahan UUD 1945 ini, memang kita tidak lagi mengenal lembaga tertinggi negara, semua lembaga negara saja, saya berbeda pendapat. Hierarki perundang-undangan ini harus kita sesuaikan dengan lembaga yang membentuk peraturan itu, kalau UUD dibentuk oleh MPR, TAP MPR dibentuk oleh MPR, kapanpun maka MPR akan lebih tinggi dari pembentuk undang-undang. UUD 1945 adalah supreme law of the land,” ujar Guru Besar Hukum UI itu.
Menurut Maria, MPR tetaplah lembaga tertinggi negara berdasar produk peraturan yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Ia melanjutkan TAP MPR yang masih berlaku tetap menjadi acuan pembentukan Undang-Undang, sementara TAP yang sudah tidak berlaku perlu dinyatakan oleh MPR dengan menerbitkan ketetapan bahwa TAP tersebut sudah tridak berlaku lagi.
Semangat Anti Korupsi dalam Konstitusi
Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, dalam FGD Fesitval Konstitusi dan Anti Korupsi, yang berlangsung di ruang Soemadipradja & Taher FH UI, memaparkan semangat anti korupsi yang terdapat dalam konstitusi. Menurut Widjajanto, semangat tersebut tampak dari adanya pembatasan kekuasaan, peradilan bebas dan tidak memihak, adanya penegasan Indonesia sebagai negara hukum, supremasi hukum, persamaan dalam hukum, serta asas legalitas yang ditegaskan dalam konstitusi.
Menurut Widjojanto, dengan hal-hal yang telah ditegaskan dalam konstitusi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi merupakan pengkhianatan tertinggi terhadap konstitusi, dan kejahatan serius terhadap hak asasi manusia.
Festival Konstitusi dan Anti Korupsi 2017 ini merupakan kali kedua kerja sama MK, MPR, dan KPK bersama perguruan tinggi, yakni Universitas Indonesia. Sebelumnya, pada 24 Oktober 2016 juga diselenggarakan Festival Konstitusi dan Anti Korupsi di Universitas Hassanuddin, Makassar. Rangkaian kegiatan festival akan diisi dengan program temu wicara dengan Ketua MK, Ketua MPR, Ketua KPK, dan Rektor UI dengan pembahasan sesuai dengan tema festival. Selain itu akan digelar tiga panel Focus Group Discussion (FGD) yang mewakili MK, MPR, dan KPK. FGD MK mengangkat tema \"Judicial Review Satu Atap di Atas Mahkamah Konstitusi”, sementara MPR mengambil tema \"Kedudukan TAP MPR dalam Tata Urutan Perundang-undangan\" dan KPK akan membahas mengenai \"Penguatan Kelembagaan Anti Korupsi\". Dalam kegiatan satu hari tersebut, akan digelar pula pameran foto, pameran Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI (PSHTN - FHUI). Kemudian, juga akan digelar Pameran Pusat Sejarah Konstitusi (MK), Pameran Empat Pilar (MPR), dan banyak lagi beberapa pameran dari LSM dan lainnya. (Ilham WM/LA)