Aturan batas waktu banding dalam pengadilan pajak telah memberikan waktu yang adil dan cukup bagi wajib pajak. Ketentuan tersebut telah dipahami dan diikuti oleh sebagian besar wajib pajak yang mengajukan banding ke pengadilan pajak. Demikian disampaikan oleh Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan dalam sidang ketiga pengujian Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terkait batas waktu pengajuan banding. Sidang yang teregistrasi dengan Nomor 78/PUU-XV/2017 dimohonkan oleh Direktur Utama PT Autoliv Indonesia Junius M.S. Tampubolon tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (15/11).
Dalam keterangannya mewakili Pemerintah, Serepina menyebut UU Pengadilan Pajak telah mengatur tenggang waktu pengajuan banding 3 bulan sejak tanggal diterima yang dihitung sejak stempel pos pengiriman. Ia menambahkan jangka waktu tersebut tidak mengikat Pemohon selaku Pemohon banding untuk mengajukan banding. Selain itu, Serepina menjelaskan putusan hakim tunggal pengadilan pajak yang menyatakan permohonan banding Pemohon ditolak secara formal, tidak dapat diajukan alasan oleh Pemohon bahwa dirinya telah mengalami kerugian yang bersifat spesifik akibat berlakunya ketentuan a quo.
“Dengan demikian, kerugian yang didalilkan oleh Pemohon bukan disebabkan oleh berlakunya ketentuan a quo, namun karena kelalaian Pemohon sendiri, yang tidak mengajukan upaya hukum dalam tenggang waktu 3 bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Oleh karenanya, tidak terdapat hubungan kausalitas antara kerugian yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya ketentuan a quo,” urainya.
Menurut Serepina, terkait keterlambatan pengiriman serta ketiadaan kontrol pengadilan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan terdapat banyak peristiwa yang dapat dijadikan rujukan oleh pihak penerima sebagai tanggal diterima putusan. Hal ini tentu tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Pilihan tanggal stempel pos sebagai tanggal diterimanya putusan didasarkan pula pada pertimbangan bahwa PT Pos sebagai agen pengirim berkewajiban untuk segera mengirim sesuai stempel pos, sehingga tidak terdapat penundaan pengiriman, kecuali dalam hal keadaan memaksa atau darurat.
Akan tetapi, lanjut Serepina, pembuat undang-undang menyadari sistem tersebut masih terdapat kelemahan karena pada kenyataannya surat yang dikirim melalui pos tidak selalu diterima pada hari itu juga. Oleh karena itu, untuk mengompensasi kehilangan waktu tersebut, pembuat undang-undang memberi waktu yang cukup panjang, yakni tiga bulan untuk pengajuan banding atau peninjauan kembali yang juga dihitung sejak tanggal surat dikirim oleh pengadilan pajak, bukan tanggal diterimanya permohonan oleh pengadilan pajak untuk pengajuan banding. “Dengan norma yang sama, pembuat undang-undang telah menerapkan asas kesamaan bagi para pihak,” ujarnya.
Pemohon yang memiliki usaha manufaktur sabuk pengaman mobil tersebut mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan batas waktu banding dalam pengadilan pajak seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Pemohon mendalilkan pasal a quo karena telah mengalami kerugian akibat adanya kerancuan mengenai perhitungan jangka waktu tersebut. Pemohon menyampaikan bahwa permohonan banding pajak pemohon tidak diterima akibat adanya perbedaan acuan dalam perhitungan jangka waktu sehingga berakibat pula pada ketidakpastian hukum bagi Pemohon. (Sri Pujianti/LA)