Kewajiban penggunaan e-toll dirasakan memberatkan sehingga membuat seorang warga negara mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) pada Rabu (15/11). Muhammad Hafidz yang tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XV/2017 ini menguji Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan “Hak konsumen adalah b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut hanya mengatur hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa, tanpa diberikan hak untuk memilih cara melakukan pembayaran atas barang dan/atau jasa yang hendak dimiliki dan/atau digunakan, telah tidak memberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan bagi Pemohon. Menurut Pemohon, ketiadaan hak tersebut berakibat pelaku usaha dapat secara sewenang-wenang menentukan sendiri cara pembayaran atas barang dan/atau jasa yang ditawarkannya. Pemohon mengalami hal tersebut akibat adanya melakukan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-toll/e-money), dan menolak pembayaran langsung/tunai dari konsumen yang menggunakan uang kertas atau logam sebagai alat pembayaran yang sah sebagaimana dimaksud UU No. 7/2011 tentang Mata Uang.
“Tindakan pelaku usaha yang tidak memberikan pilihan kepada kosumen untuk mendapatkan kemudahan memilih cara melakukan pembayran atas barang dan/atau jasa yang hendak dan/atau digunakan, merupakan tindakan monopoli usaha, karena konsumen tidak memiliki alternatif lain untuk melakukan pembayaran selain yang telah ditentukan secara sepihak,” ujar Eep Ependi selaku kuasa hukum Pemohon.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen tidak memiliki kekuatan hokum mengikat sepanjang dimaknai meniadakan hak konsumen untuk memilih cara melakukan pembayaran atas barang dan/atau jasa yang hendak dimiliki/atau digunakan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul memberikan saran perbaikan. Menurut Maria, Pemohon harus menguraikan hak konstitusionalnya yang terciderai akibat adanya Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Menurut Maria, hak konstitusional Pemohon tidak terlanggar dengan adanya hak untuk memilih. Jika Pemohon tidak ingin menggunakan e-toll, lanjut Maria, maka ada pilihan menggunakan jalan biasa.
“Legal standing harus dipenuhi dulu. Hak konsumen untuk memilih barang dan jasa, apakah ini menciderai hak konstitusional Pemohon? Karena di UU disebut hak memilih., jalan tol adalah jalan alternatif. E-money lebih mudah dibandingkan dengan cash. Anda sudah diberikan hak memilih. Jadi (permohonan) ini agak tidak tepat,” sarannya.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta agar Pemohon mengoreksi kembali permohonan terkait UU yang diujikan. Menurut Palguna, seharusnya Pemohon mempersoalkan kebijakan BI yang mewajibkan penggunaan e-Toll, bukan menguji Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Ia menyebut masalah yang dialami Pemohon timbul bukan karena konstitusionalitas norma. Palguna juga menyebut tidak ada diskriminasi yang dialami Pemohon terkait kewajiban penggunaan e-Toll tersebut.
“Dan juga dalil diskriminasi juga sebenarnya, apakah itu digunakan di situ? Konteks diskriminasi sebenarnya, baik dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia maupun Covenant on Civil and Political Rights, sesungguhnya bukan dalam konteks seperti yang Anda maksud dalam permohonan ini. Tidak setiap pembedaan itu berarti harus diskriminasi ,” tegasnya. (Lulu Anjarsari)