Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/11). Agenda sidang Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017, yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Pemerintah.
Teguh Samudra selaku Ahli Pemohon menyebut adanya peraturan maupun undang-undang yang melarang peran advokat mendampingi dan/atau mewakili kliennya di depan pejabat, petugas, dan/atau kantor pelayanan pajak melanggar Undang-Undang Advokat. Selain itu, pelarangan tersebut juga melanggar prinsip-prinsip peran advokat yang telah disahkan PBB dan berlaku universal serta melanggar hak asasi manusia, baik hak asasi dari advokat maupun kliennya.
“Prinsip-prinsip dasar tentang peran advokat yang telah disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Kongres Ke-8 di Havana, Cuba, 27 Agustus sampai 7 September 1990. Prinsip-prinsip tersebut telah diakui secara universal dan menjadi pedoman atau landasan berpikir dalam pembentukan hukum dan perilaku pemerintah dalam menjalankan wewenangnya,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Teguh pun berpendapat tindakan pejabat pemerintah yang menolak kehadiran advokat mendampingi kliennya dengan dasar adanya surat kuasa adalah suatu hal yang sangat menyakitkan, dan mencederai demokrasi, dan melanggar hak asasi manusia. Ia melanjutkan ketidakpahaman pejabat yang hanya mampu berpegang pada aturan yang tidak adil dan bahkan diskriminatif tersebut adalah sangat tidak mencerminkan bahwa pejabat pemerintah adalah abdi negara yang bertugas melayani kepada masyarakat warga negara. “Pejabat maupun aturan yang melarang atau berakibat meniadakan peran profesi advokat adalah sangat kejam dan tidak manusiawi, yang cenderung arogan dan piawai menunjukkan otoritas kekuasaannya semata,” tegas Teguh.
Sementara itu, Kismantoro Petrus selaku Ahli Pemerintah menjelaskan perbedaan pengertian antara konsultan dan kuasa hukum dalam UU Perpajakan. Menurutnya, konsultan pajak dapat diartikan sebagai orang yang mempunyai keahlian pajak atau ahli di bidang perpajakan, yang tugasnya memberi petunjuk petunjuk pertimbangan atau nasihat yang diperlukan dalam kegiatan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan bagi masyarakat. “Sesuai dengan namanya, konsultan pajak merupakan suatu profesi bagi orang yang telah memenuhi syarat utamanya, yakni memiliki keahlian di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelasnya.
Berbeda halnya dengan kuasa, lanjut Kismantoro, yang menerangkan dalam ketentuan UU Perpajakan diberi arti secara khusus, yaitu kuasa mengandung arti orang yang diberi tugas berdasarkan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. “Jadi, secara resmi berdasarkan ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan, seorang kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari wajib pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari wajib pajak, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di bidang perpajakan. Definisi ini ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03 Tahun 2014,” jelasnya.
Kismantoro menambahkan adanya persyaratan tertentu jika seseorang hendak menjadi konsultan pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 Tahun 2014 tersebut. Persyaratan tersebut, yakni memiliki izin 17 praktik konsultan pajak, memiliki sertifikat konsultan pajak dengan lulus menempuh ujian sertifikasi resmi konsultan pajak, melaksanakan tugas sesuai dengan tingkat sertifikasi konsultan pajak yang dimiliki, menjadi anggota salah satu asosiasi konsultan pajak, melaksanakan hak dan kewajiban sebagai konsultan pajak, dan tunduk pada pengawas yang mempunyai kewenangan melakukan teguran, pembekuan, pencabutan izin praktik konsultan pajak.
“Karena persyaratan tersebut, maka konsultan pajak merupakan suatu pihak yang mempunyai standar profesi yang formal, terorganisir, dan bertanggung jawab kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, serta wajib menguasai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diatur secara khusus, maka konsultan pajak dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak,” ujar Kismantoro.
Sebagaimana diketahui, Petrus Bala Pattyona selaku Pemohon berprofesi sebagai advokat dan pengacara, kurator-pengurus, mediator, legal auditor dan kuasa hukum Pengadilan Pajak. Pemohon mengajukan pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Perpajakan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 32 UU a quo berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.”
Penjabaran dari Pasal 32 UU Perpajakan ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan yang pada pokoknya diatur dalam peraturan Menteri Keuangan sebagai penjabaran Pasal 32 ayat (3a) UU Perpajakan berbunyi, “Untuk menjadi kuasa hukum, haruslah konsultan hukum.” Pemohon beranggapan, ketentuan a quo merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusi Pemohon, akibat adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa. Kerugian konstitusional yang dialami Pemohon adalah Pemohon telah ditolak untuk mendampingi klien di Kantor Pajak Bantul. Atas penolakan tersebut, Pemohon mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Bantul, Yogyakarta. (ARS/LA)