Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Propinsi Maluku (UU Kota Tual) terhadap UUD 1945, Senin (7/01). Sidang ini mengagendakan Pemeriksaan Perbaikan Permohonan.
Para Pemohon menganggap UU Kota Tual tersebut baik formil maupun materiilnya bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945. Pemohon merasa dengan berlakunya UU a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena undang-undang tersebut pembentukannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pemohon juga beralasan bahwa pembentukan Kota Tual tidak melalui persetujuan dari Bupati Kabupaten Maluku Tenggara dan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara bahkan tidak ada penjaringan aspirasi Masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara menyangkut dilaksanakannya pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara. Selain itu persetujuan Gubernur Propinsi Maluku tidak didasarkan atas hasil penelitian daerah yang dilakukan oleh Tim Khusus.
Pada awal persidangan ini Ketua Panel Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna meminta Pihak Pemohon untuk membuktikan bahwa pihaknya adalah Masyarakat Hukum Adat. Mengulang pernyataan pada sidang sebelumnya, Palguna menasehati Pemohon supaya memperjelas kedudukan hukum (legal standing) mereka. âSebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, harus dibedakan antara masyarakat adat dengan masyarakat hukum adat karena tidak semua masyarakat adat adalah juga masyarakat hukum adat,â jelas Palguna.
Sesuai dengan petunjuk pada sidang yang lalu, Pemohon mengatakan bahwa menurut keterangan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, ada dua faktor yang menyatakan bahwa mereka adalah Masyarakat Hukum Adat, yakni faktor genealogis dan faktor teritorial. âOleh karena itu, dengan adanya undang-undang Kota Tual ini menimbulkan kerugian yang berdampak dengan terbagi dan terpecahnya wilayah Maluku tenggara karena sebagian wilayah masuk Maluku Utara dan sebagian lainnya masuk Kota Tual,â papar Kuasa Hukum Pemohon, Sapriyanto Refa.
Menanggapi pernyataan tersebut Anggota Panel Hakim Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LLM. kembali mempertanyakan landasan hukum para Pemohon mengklaim mereka sebagai wakil dari Masyarakat Hukum Adat. âPemohon harus jelas membuktikan dirinya sebagai Masyarakat Hukum Adat karena dari lampiran permohonan yang Pemohon ajukan, saya tidak menemukan bukti bawa Pemohon adalah Masyarakat Hukum Adat. Ciri-ciri dari masyarakat Hukum Adat adalah menetap di suatu daerah atau wilayah tertentu, mempunyai pemerintahan sendiri, terdapat benda-benda antik bersejarah, dan mempunyai masayarakat atau penduduk asli,â jelas Natabaya.
Menjawab pertanyaan Natabaya, para Pemohon mengartikan Masyarakat Hukum Adat adalah sebuah perkumpulan masyarakat yang hidup dan berkembang di suatu daerah atau wilayah. âBukti bahwa persekutuan Masyarakat Hukum Adat itu masih ada yakni dengan adanya acara-acara yang diselenggarakan oleh raja-raja atau pemimpin adat,â jawab Pemohon.
Terhadap penjelasan tersebut, Palguna mencontohkan seperti di Bali, terdapat dua bagian desa yakni desa dinas yang berada di bawah pemerintahan daerah dan desa adat yang memiliki pemerintahan dan wilayahnya sendiri. Lanjut Palguna, desa adat tidak terpengaruh oleh adanya pemekaran dan penciutan daerah walaupun ada hal tersebut desa adat tetap dengan kesatuannya sebagai Masyarakat Hukum Adat. âOleh karena itu pihak Pemohon harus melampirkan bukti-bukti yang jelas bahwa Masyarakat Hukum Adat di daerah Pemohon masih ada,â tambah Palguna. (Andhini Sayu Fauzia)