Pelaksanaan pemilihan presiden yang dilakukan serentak dengan pemilihan umum legislatif menyebabkan tidak dimungkinkannya menerapkan pemilu legislatif sebagai prasyarat pilpres melalui ambang batas pencalonan presiden. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Center (SMRC) Djayadi Hanan dalam sidang lanjutan terkait uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold/PT) yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (14/11).
Menurut Hanan, alasan ketidakmungkinan tersebut dikarenakan pemilu legislatif untuk masa pemilu berjalan belum dilaksanakan sehingga hasilnya belum ada. Ia menyebut tidak ada jalan untuk menjadikan pemilu legislatif sebagai prasyarat. “Maka dalam konteks tersebut ada dua kesalahan dalam ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
“Pertama, kembali menjadikan pemilu legislatif sebagai prasyarat pilpres. Kedua, lebih parah lagi, pemilu legislatif yang dijadikan prasyarat adalah pemilu legislatif yang sudah terjadi pada masa pemilu sebelumnya yang dari segi konfigurasi politiknya sangat mungkin tidak lagi sama dengan pemilu yang akan atau sedang berjalan,” jelas Hanan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Hanan menjelaskan adanya ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu serentak akan mengakibatkan konsekuensi yang bertentangan dengan konstitusi. Pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden potensial bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Konsekuensi yang dimaksud, jelas Hanan, sejumlah partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR atau peserta baru pada masa pemilu berjalan, tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. “Atau mereka terpaksa ikut mendukung pasangan capres dan cawapres yang tersedia tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan kehendak atau aspirasi akibat posisi mereka yang tidak mengganjilkan dan tidak menggenapkan. Potensi ketidaksadaran peserta pemilu bisa terjadi di sini,” urainya.
Hanan juga mengungkapkan sulit menemukan contoh empiris mengenai penerapan ambang batas presiden dalam pelaksanaan pemilu serentak pada negara yang menganut sistem presidensial yang ada di dunia.
“Amerika Serikat negara dengan sistem presidensil yang paling mapan, tidak memiliki aturan ambang batas pencalonan presiden. Negara-negara di Amerika Latin yang kebanyakan menganut sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia, juga tidak memberlakukan ambang batas pencalonan presiden dalam pilpresnya. Umumnya pilpres dan pemilu legislatif di Amerika Latin juga berlangsung serentak,” tegasnya.
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Arsul Sani, menerangkan Pasal 222 UU Pemilu tidak bersifat diskriminatif. Hal tersebut karena ketentuan ambang batas dalam pasal a quo tidak membatasi dan menutup ruang bagi munculnya tokoh-tokoh terbaik bangsa. Oleh karena itu, lanjut Arsul, tidak benar jika pengaturan ambang batas dalam pengajuan calon presiden atau calon wakil presiden mengurangi dan menghalangi kader bangsa yang berkualitas dan lebih demokratis.
“DPR RI berpandangan bahwa dalil Para Pemohon merupakan asumsi dan tafsir Para Pemohon sendiri karena sejatinya pasal ini tidak membatasi dan tidak mengurangi, juga tidak menghambat hak konstitusional seseorang untuk dapat diusulkan sebagai calon selama diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pemilu tersebut,” terangnya.
Para Pemohon dari berbagai latar belakang tersebut mempermasalahkan Pasal 222 serta Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu. Sidang tersebut digelar untuk lima permohonan, yakni Perkara Nomor 44/PUU-XV/2017, 53/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/ 2017, serta Perkara Nomor 72/PUU-XV/2017. (ARS/LA)