Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 24 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (31/10) siang. Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XV/2017 adalah Yahya Karomi anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Cilacap.
Pemohon diwakili kuasa hukum Hendrayana, mendalilkan adanya ketidakpastian hukum akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon. “Pemohon adalah warga negara Indonesia yang mengalami kerugian konstitusional karena menderita ketidakpastian hukum akibat dari ketentuan pasal dalam undang-undang yang dimohonkan,” urai Hendrayana kepada Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Pasal 23 ayat (2) UU No. 2/2011 berbunyi, “Bahwa susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan partai politik tingkat pusat didaftarkan ke kementerian paling lambat 30 hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.” Sedangkan Pasal 23 ayat (3) UU No. 2/2011 menyebutkan, “Susunan kepengurusan baru partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan menteri paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya persyaratan”. Kemudian Pasal 24 UU a quo, “Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan parati politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh menteri sampai perselisihan terselesaikan.”
Dijelaskan Hendrayana, Pemohon mempersoalkan kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam pendaftaran perubahan kepengurusan partai politik tingkat pusat yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Pemohon, pemberian kewenangan kepada Menkumham untuk mendaftarkan perubahan pengurusan partai politik tingkat pusat tidak tepat karena Menkumham adalah unsur pemerintah yang memiliki kepentingan untuk memperoleh dukungan partai politik.
“Penyimpangan-penyimpangan kewenangan yang selama ini terjadi oleh Menkumham, seperti terhadap Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, dan PKPI bukan disebabkan oleh sosok menteri. Namun disebabkan oleh Undang-Undang Partai Politik yang memberikan wewenang pendaftaran perubahan kepengurusan partai politik pada tingkat nasional. Hal tersebut bisa saja terjadi pada partai politik lain di kemudian hari sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” papar Hendrayana.
Selain itu, menurut Pemohon, kewenangan perubahan pengurusan partai politik tingkat pusat lebih tepat diberikan kepada lembaga independen yang tidak mempunyai kepentingan untuk memperoleh dukungan partai politik.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Ketua Panel Hakim Manahan MP Sitompul mencermati format permohonan Pemohon yang terlihat belum lengkap. “Sebagaimana lazimnya permohonan yang kita sering terima di Mahkamah Konstitusi, perihal ini harus jelas disebutkan pasal-pasal, ayat-ayat kemudian baru undang-undangnya. Di sini saya melihat Pemohon hanya menyebut undang-undang saja,” kata Manahan.
Selain itu Manahan mengomentari Pemohon, dalam hal ini Yahya Karomis sebagai anggota Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten Cilacap. “Seperti itu ya? Ini saya baca belum ada disebutkan dan menyatakan Saudara sah sebagai anggota. Biasanya harus dibuktikan, apa sih keanggotaannya? Dengan kartu tanda anggota, apa namanya, saya juga belum lihat di sini. Supaya nanti legal standing-nya ada hubungannya bahwa Pemohon seorang anggota parpol,” ujar Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra mengingatkan Pemohon, terkait permohonan Pemohon bahwa sudah ada tiga putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 45/PUU-XIV/2016, Putusan Nomor 35/PUU-XIV/2016, Putusan Nomor 24/PUU-XV/2017 yang berhubungan langsung dengan Pasal 23 dan Pasal 24 UU Parpol.
“Oleh karena itu, silakan Pemohon menjelaskan apa dasar argumentasi yang berbeda Pemohon mengajukan pasal ini ke Mahkamah Konstitusi. Pasal pengujiannya juga harus dilihat, apakah sudah pernah digunakan sebelumnya. Jadi itu harus clear. Di hukum acara MK itu ketat sekali. Bahwa pasal yang sudah pernah diputus, tidak dapat diajukan lagi, kecuali dasar pengujiannya dan argumentasinya berbeda,” tandas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA)