Larangan menyebarkan informasi kebencian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berfungsi untuk melindungi hak asasi setiap warga negara.
Hal ini disampaikan Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Samuel Abrijani Pangerapan dalam sidang uji materiil Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Sidang Perkara dengan Nomor 76/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (1/11) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda persidangan ketiga tersebut, yakni mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, namun DPR berhalangan hadir.
Samuel menjelaskan Pemerintah berpendapat frasa “antargolongan” yang terdapat pada pasal a quo ditujukan apabila terjadi pada kasus-kasus yang bersifat provokatif yang dengan sengaja melahirkan informasi negatif yang memicu pertikaian atau kerusuhan atas dasar SARA. Di samping itu, ketentuan yang ada pada pasal a quo telah sesuai dengan hukum positif Indonesia dan hukum internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hukum positif ini bertujuan untuk mengatur perbuatan hukum penyebaran informasi yang bermuatan ujaran kebencian di dunia cyber. Justru Pemerintah menilai jika frasa “antargolongan” dihilangkan, maka akan berakibat ketidakpastian dan kekosongan hukum karena keberlakuan frasa tersebut berguna untuk melindungi dan menjamin HAM setiap warga negara.
“Frasa ‘antargolongan’ dalam pasal a quo tidaklah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Frasa a quo justru menjamin, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia dari warga negara yang tergabung dalam golongan atau kelompok di luar suku, agama, dan ras dari perbuatan penyebaran kebencian. Menurut Pemerintah, apabila frasa a quo dihilangkan, malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekosongan hukum terhadap pelanggaran yang ditujukan subjek kelompok di luar suku, agama, dan ras,” urai Samuel di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Tidak Batasi Kebebasan Berpendapat
Selain itu, Samuel juga menegaskan bahwa pasal a quo tidak membatasi warga negara dalam mengeluarkan pendapat. Pasal a quo hanya menekankan pada kebebasan berpendapat dan mengeluarkan informasi tersebut tidaklah boleh dikeluarkan untuk menyebarkan kebencian.
Di samping itu, frasa“antargolongan” dinilai Pemerintah tidak mengurangi HAM terhadap perlindungan diri pribadi dan rasa aman, seperti yang didalilkan para Pemohon. Pemerintah berpendapat, pasal a quo justru melindungi masyarakat dari tindakan penyebaran kebencian, baik terhadap individu maupun kelompok masyarakattertentu yang akan menganggu keamanan persatuan dan keamanan bangsa. “Dengan demikian, pasal a quo tidak mengkriminalisasi masyarakat dalam menyampaikan kebebasan berpendapat. Namun perlu diatur dengan memandang hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan keadilan dalam masyarakat demokratis,” jelasnya.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Arief menyampaikan bahwa persidangan akan dilanjutkan pada Senin, 20 November 2017 pukul 13.30 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli dari Pemohon. (Sri Pujianti/LA)