Aturan sanksi maladministrasi bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) seperti yang tercantum dalam Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) seharusnya hanya berada pada tataran administratif, bukan sampai pada tataran pidana. Maka sepatutnya tidak perlu ada kriminalisasi terhadap JPU yang menangani kasus pidana anak dikarenakan masalah kelebihan jangka waktu penahanan anak dalam proses penuntutan.
Hal ini disampaikan oleh Anugerah Rizky Azhari selaku Ahli yang diajukan oleh Noor Rachmad, dkk., selaku Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 tentang uji materiil UU SPPA. Anugerah menyebut hubungan yang dibangun Pasal 99 UU SPPA hanya berada dalam tataran administrasi. Kewenangan penahanan selama proses penuntutan memang ada pada penuntut umum.
“Tapi secara fisik dalam UU SPPA, penahanan dilakukan oleh lembaga penahanan sementara dan apabila belum ada, maka ditahan di penyelenggaraan kesejahteraan lembaga social. Masalah ini semestinya menunjukan bahwa hal tersebut tidak menyentuh tataran hukum pidana, melainkan hanya tataran administratif dan teknis semata,” terangnya pada sidang yang berlangsung pada Selasa (31/10).
Anugerah melanjutkan dengan adanya sanksi pidana terhadap JPU mengakibatkan timbulnya logika hukum yang tidak sempurna. “Apabila keberadaan pasal tersebut untuk mencegah adanya pelanggaran batas waktu penahanan anak dalam proses penuntutan, maka pilihan dengan mengkriminalisasi penegak hukum menunjukan logika hukum yang tidak sempurna,” tambahnya di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Anugerah pun menyampaikan solusi untuk menghindari terjadinya kriminalisasi terhadap JPU pada peradilan anak terutama terkait adanya pelanggaran batas waktu penahanan dalam proses penuntutan. Ia menyampaikan perlu adanya ketersediaan akses sistem informasi yang dapat diakses oleh semua pihak yang berperkara. Akses tersebut dapat dibangun melalui koordinasi yang baik antara JPU dan petugas Lapas.
“Persoalan ini bisa diselesaikan antara JPU dan petugas Lapas yang berkoordinasi dengan baik terkait pemberitahuan masa penahanan atau perpanjangan penahanan. Koordinasi ini harus dibangun pada sebuah sistem informasi yang mutakhir dan diperbarui serta dapat diakses oleh JPU, penasihat hukum, keluarga tersangka dan masyarakat umum. Ketersediaan informasi ini akan bermanfaat bagi semua pihak di atas,” tandasnya.
Dalam sidang tersebut, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti yang mewakili Pemerintah menyebut UU SPPA memuat aturan yang melindungi agar hak anak tidak terlanggar, bahkan oleh penegak hukum sekalipun.
Noor Rachmad, dkk., yang berprofesi sebagai jaksa dan juga terdaftar sebagai Anggota PJI, mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 99 UU SPPA. Pasal 99 UU SPPA menyatakan, “Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.
Menurut Pemohon, Pasal 99 UU SPPA berpotensi memidana para penuntut umum yang melakukan maladministrasi dalam menjalankan wewenang dalam perkara pidana anak. Pasal tersebut dinilai mengintervensi independensi jaksa, padahal seharusnya kesalahan yang bersifat adminstratif dari seorang jaksa dipertanggungjawabkan kepada atasan dalam struktur dan jenjang pengawasan yang sudah disediakan oleh peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam UU Kejaksaan.
Selain itu, Pemohon menganggap pemidanaan atas pelanggaran hal yang bersifat administratif seharusnya tidak dapat diawasi dan dikoreksi oleh kekuasaan yudikatif (dalam hal ini adalah peradilan pidana). Pengawasan koreksi oleh sebuah peradilan pidana atas pelanggaran tersebut, dapat dikatakan sebagai intervensi kekuasaan lainnya. Untuk itulah, Pemohon meminta agar MK membatalkan keberlakuan Pasal 99 UU SPPA. (Lulu Anjarsari)