Setiap warga Negara harus memiliki kesetiaan terhadap konstitusi. Hal itu merupakan konsekuensi dari kedudukan konstitusi sebagai bentuk perjanjian sosial seluruh warga Negara. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie pada Orasi Ilmiah di Universitas Darul Ulum Lamongan, Sabtu (29/12).
Sebagai manusia, janji tertinggi terhadap Tuhan yang harus dipenuhi adalah syariah. Sedangkan janji tertinggi sebagai warga negara wujudnya adalah konstitusi. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia, khususnya umat Islam, setiap waktu harus berupaya memenuhi tanggungjawab terhadap janji tersebut, baik yang sifatnya syar-iyah maupun yang sifatnya dusturiyah.
Para ahli menyebut konstitusi sebagai kontrak sosial, yaitu perjanjian seluruh masyarakat. Oleh karena itu konstitusi mengikat seluruh warga negara. Setiap warga negara harus tunduk pada konstitusi. Kalau ada materi konstitusi yang tidak disetujui, dapat dilakukan upaya perubahan. Namun sebelum terjadi perubahan, konstitusi harus tetap ditaati dan dilaksanakan. Untuk mengubah konstitusi, harus diperjuangkan mulai dari memilih wakil-wakil rakyat. Oleh karena itu, warga negara tidak boleh salah pilih, karena keputusan yang dibuat wakil-wakil tersebut akan mengikat seluruh warga Negara.
Warga negara dapat mengambil contoh kesetiaan dan ketaatan terhadap konstitusi dari sejarah Rasulullah Muhammad yang pernah membuat Piagam Madinah. Para ahli menyebut piagam tersebut sebagai konstitusi pertama di dunia yang ditandatangani oleh 13 suku bersama Muhammad. Setiap muslim saat itu harus tunduk pada piagam, selain tentu saja kepada al Quran dan Sunnah Nabi. Bahkan pernah terdapat salah satu suku muslim yang melanggar Piagam Madinah, (suku Qutaibah), dan mendapat hukuman dari Rasulullah.
Ketundukan kepada konstitusi juga merupakan implikasi dari kewajiban umat Islam tunduk kepada para pemimpin (ulil amri). Apalagi UUD 1945 didahului oleh Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945, sebagai spirit UUD 1945. Adanya 7 kata yang dihapus dari Piagam Jakarta merupakan proses sejarah yang harus diterima dalam kehidupan bernegara. Bahkan dalam pembentukan Piagam Madinah pun terhadap penghapusan 7 kata yang tidak disetujui oleh kaum Yahudi. Pada awalnya di bagian awal Piagam Madinah terdapat kata âBismillahirahmanirrahimâ dan di akhir piagam terdapat kata âMuhammad rasulullahâ. Kata-kata tersebut tidak disetujui oleh kaum Yahudi sehingga âBismillahirahmanirrahimâ dihilangkan dan di akhir piagam tinggal nama âMuhammadâ.
Orasi Ilmiah yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis XXI Universitas Darul Ulum Lamongan serta Wisuda Sarjana dan Pascasarjana tersebut diikuti oleh 580 Wisudawan dan sekitar 2500 peserta undangan. Dalam acara tersebut hadir pula Ketua Dewan Kurator Unisda Lamongan, K.H. Salahuddin Wahid, dan Wakil Bupati Lamongan.
Ketua MK menyatakan bahwa dengan wisuda tersebut telah bertambah kualitas pendidikan bangsa Indonesia untuk menunjang upaya mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Hanya dengan tingkat pendidikan yang tinggi, bangsa Indonesia dapat mengambil manfaat dari perkembangan peradaban dan pergaulan dunia. Tanpa adanya kualitas pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia hanya akan menjadi pekerja, bahkan tidak mampu menikmati kekayaan alamnya sendiri. Bangsa Indonesia akan menjadi penonton saja.
Para wisudawan, dari fakultas apapun harus mempelajari konstitusi. âKalau masalah undang-undang, mungkin cukup diserahkan kepada para sarjana hukum. Tetapi konstitusi tidak. Semua wisudawan, bahkan semua warga Negara harus mempelajarinya. Hal itu karena kedudukan konstitusi sebagai perjanjian tertinggi, yang materinya antara lain adalah hak-hak konstitusional warga negara.â Jelas Ketua MK.
Perlunya mempelajari UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia semakin besar mengingat perubahan mendasar hasil Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada 1999 hingga 2002. Hak-hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 pasca perubahan sangat rinci. Apabila ada hak satu orang warga Negara saja yang dilanggar oleh suatu UU, maka orang tersebut dapat menggugat membatalkan ketentuan dalam UU yang melanggar itu melalu permohonan pengujian undang-undang kepada MK. âSuatu UU memang dibuat oleh banyak orang (DPR dan Presiden red.) atas nama demokrasi, namun tetap tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945â, Tegas Prof. Jimly.
Oleh karena itu, UUD 1945 harus menjadi konstitusi yang hidup dan dipahami oleh segenap warga negara. Setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama, baik masyarakat biasa maupun pejabat negara. Bahkan saat ini menjadi pejabat negara tidak lama. Rata-rata maksimal 10 tahun, dan setelah itu akan kembali menjadi warga biasa. Oleh karena itu, yang memerintah sesungguhnya adalah hukum yang dijalankan para pejabat, bukan orangnya. Hal ini juga dapat dipelajari dari nilai Islam. Muhammad adalah rasul dan nabi, tetapi bukan imam. Yang menjadi imam bagi umat Islam adalah al Quran, seperti doa yang dipanjatkan oleh umat Islam setelah pembacaan al Quran dan saat pelantikan pengurus organisasi Islam.
Hal itu juga memberikan pelajaran bahwa yang harus dibangun adalah sistem, bukan orang. Dalam salat, yang dipertahankan adalah aturannya bukan imamnya. Jika imam salah, wajib diingatkan. Demikian pula jika ada pejabat yang menyalahi aturan harus diingatkan, dan warga tidak wajib tunduk kepada perintah yang menyalahi aturan.
Hakim Konstitusi harus seorang negarawan
Setelah memberikan orasi ilmiah di UNISDA Lamongan, Ketua MK memberikan ceramah di hadapan anggota DPRD, para pejabat di lingkungan Kabupaten Lamongan, dan para guru PKN di Lamongan. Kegiatan itu diselenggarakan di Pendopo Kabupaten Lamongan yang dihadiri oleh sekitar 150 orang.
Ketua MK memberikan penjelasan tentang wewenang MK yang penting dalam membangun negara hukum dan demokrasi. Wewenang MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menempatkan MK dalam kedudukan yang strategis. Misalnya, terkait dengan wewenang pengujian undang-undang dan pembubaran partai politik, MK berada antara warga Negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan Negara, yaitu pembentuk UU, serta pemerintah yang menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik. Terkait dengan wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga Negara, MK berada diantara lembaga-lembaga Negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Demikian pula halnya dalam perkara impeachment, MK berada diantara DPR, Presiden, dan MPR.
Wewenang yang dimiliki oleh MK menempatkan MK sebagai lembaga yang menjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Hal itu sekaligus menjadi MK memiliki fungsi melindungi hak konstitusional warga Negara (the protector of constitutional citizens rights), melindungi hak asasi manusia (the protector of human rights), dan penjaga demokrasi (the guardian of democracy).
Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi yang dijalankan, maka UUD 1945 menyatakan dengan tegas salah satu criteria hakim MK adalah seorang negarawan. Tidak ada jabatan lain yang ditegaskan demikian oleh UUD 1945. Hakim MK tidak boleh berpikir untuk golongan tertentu saja. Oleh karena itu, hakim MK tidak boleh menjadi anggota apalagi pengurus partai politik tertentu. âPada saat menjadi hakim MK sudah harus netral, tidak menjadi anggota atau pengurus partai tertentu. Masalah mekanisme apakah mengundurkan diri terlebih dahulu atau dengan cara lain, itu soal teknis. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa hakim konstitusi harus seorang negarawan sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945.â Tegas Prof. Jimly. Hal itu dikemukakan oleh ketua MK menjawab salah satu pertanyaan peserta.
Setelah melakukan dialog di Pendopo Kabupaten Lamongan, Ketua MK melakukan kunjungan ke kantor Jawa Pos Grup, yaitu ke kantor redaksi Koran Jawa Pos dan JTV. Pada kesempatan tersebut Ketua MK melakukan diskusi dan mendapatkan masukan peran media massa serta TV lokal dalam upaya mengangkat khasanah budaya lokal. Ketua MK juga sempat melakukan wawancara dengan JTV terkait dengan keberadaan calon perseorangan dalam proses Pilkada yang saat ini menunggu pelaksanaan oleh pihak yang berwenang. (M. Ali Safaat)