Aturan penggelapan seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sugihartoyo yang berprofesi sebagai dosen tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XV/2017 tersebut. Sugihartoyo menguji Pasal 374 KUHP yang menyebutkan, “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Andy Firasadi mendalilkan haknya terlanggar dengan berlakunya Pasal 374 KUHP. Menurut Pemohon, pasal tersebut tidak jelas dan menimbulkan multitafsir. “Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 374 KUHP yang mengandung ketidakjelasan norma hukum terhadap frasa karena ada hubungan kerja, atau karena pencarian, atau karena mendapat upah itu yang tidak diartikan memiliki syarat adanya kerugian secara materiil,” kata Andy dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Dengan kata lain, lanjut Andy, kedudukan hukum pelapor tindak pidana penggelapan dalam jabatan sangat diperlukan untuk menentukan kualitas dan kebenaran laporan tersebut, agar tidak terjadi penyalahgunaan untuk tujuan iktikad buruk, seperti penjatuhan harkat, martabat, perampasan kemerdekaan akibat penahanan, serta pemerasan terhadap pelapor. “Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional dengan penerapan pasal tersebut, maka kemudian pada intinya berkeinginan agar proses yang akan dihadapi berikutnya tidak merugikan Pemohon,” ungkap Andy.
Dijelaskan Andy, kerugian yang dialami Pemohon itu juga spesifik, antara lain bahwa status pemohon saat ini sebagai tersangka melalui penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Timur karena dijerat dengan Pasal 374 KUHP. Sedangkan menurut Pemohon, pelapor tidak memiliki legal standing dalam hal tindak pidana penggelapan dalam jabatan. “Oleh karena tindakan penetapan tersangka tersebut, maka Pemohon telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang,” ucap Andy.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar frasa “karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu” dalam Pasal 374 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa karena ada “hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu” tidak dimaknai dimaknai laporan pidana terhadap perkara pasal a quo disyaratkan adanya hubungan keperdataan.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Saldi menasihati agar Pemohon mendeskripsikan secara jelas bahwa inti persoalan itu adalah terletak pada pengujian norma, bukan menguji peristiwa konkret, juga bukan menilai penerapan hukum. “Itu bukan wilayah Mahkamah Konstitusi,” tegas Saldi.
Hal kedua, Saldi menyoroti kedudukan hukum Pemohon. “Boleh saja Pemohon menyampaikan kasus konkret yang dihadapi, tapi itu kemudian harus dijelaskan dalam konteks syarat pemenuhan legal standing yang ada dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi maupun dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan legal standing itu,” urai Saldi.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto menilai bahwa sistematisasi permohonan Pemohon sudah memenuhi persyaratan hukum acara MK. Akan tetapi, lanjutnya, ia meminta agar dielaborasi dengan kerugian hukum yang dialami.
“Namun pada bagian-bagian tertentu perlu ada elaborasi lebih lanjut, misalnya pada bagian kedudukan hukum. Perlu dielaborasi lebih jauh kepastian hukum yang dimaksud, dikaitkan dengan norma yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945. Sehingga jelas permasalahan yang disampaikan Pemohon bukan hanya kasus konkret. Tapi merupakan persoalan norma,” papar Aswanto. (Nano Tresna Arfana/LA)