Sejumlah Badan Otonom Organisasi Muhammadiyah mengajukan uji materi terkait aturan iklan terkait rokok ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (30/10). Mereka menguji materi Pasal 46 ayat (3) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) dan Pasal 13 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Tercatat sebagai Pemohon, yakni Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyah, beserta Yayasan Lembaga Pemberdayaan Sosial Indonesia. Pada sidang perdana Perkara Nomor 81/PUU-XV/2017, mereka diwakili Hery Chariansyah selaku kuasa hukum. Pasal-pasal yang diuji tersebut menyatakan:
Pasal 13 huruf b dan c UU Pers
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 46 ayat (3) huruf b dan c UU Penyiaran
(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal a quo yang mengatur terkait ketentuan penyiaran iklan rokok. Pemohon berpendapat, meskipun rokok dianggap produk legal, tapi secara yuridis formil, rokok ditempatkan sebagai bukan barang konsumen normal yang peredaran dan konsumsinya bisa disamakan dengan produk lainnya karena rokok dikenai pita cukai. Selama ini, sudah terdapat peraturan terkait pelarangan iklan dan promosi kepada produk-produk legal sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap masyarakat. Para Pemohon berpendapat iklan dan promosi rokok adalah strategi pemasaran industri rokok untuk menjual kesakitan dan kematian yang menyasar anak dan remaja serta mengancam hak hidup. Untuk menyamarkan bahaya rokok, iklan rokok menampilkan rokok sebagai produk yang dikesankan gaul, keren, macho dan sebagainya.
“Diambil dari berita Majalah Gatra 4 Juni 2008, Dr. Widyastuti Soerojo menyebut iklan rokok memang diarahkan menjaring orang muda seperti anak-anak dan remaja, bukan orang tua,” jelasnya di sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Dirinya juga menegaskan rokok tergolong produk legal, namun mesti dilarang untuk beriklan. Hery mencontohkan terkait banyak produk legal, tetapi dilarang untuk beriklan.Pelarangan produk susu formula dilakukan dalam rangka mewujudkan program ASI eksklusif bagi bayi. Jika dibandingkan dengan rokok, lanjut Heri, harusnya rokok juga dilarang untuk diiklankan. Sebab tembakau jelas lebih berbahaya dibandingkan susu formula. Di sisi lain, pemerintah juga melarang produsen obat keras dan psikotropika untuk beriklan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1787 tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Layanan Kesehatan Pasal 5.
Para Pemohon menilai berdasarkan pasal-pasal yang diujikan, promosi rokok dilarang yang memperagakan wujud rokok sehingga dapat diiklankan di media penyiaran dan media cetak sepanjang tidak menampilkan wujud rokok. Padahal menurut Pemohon rokok berasal dari tembakau yang bersifat adiktif dapat berbahaya bagi kesehatan. Sehingga iklan rokok merupakan ancaman bagi hak hidup setiap orang karena dapat mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk rokok.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan pasal-pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memandang permohonan isinya terlalu panjang dan rumit. Dia menyebut bagian latar belakang harusnya bersifat singkat saja. “Di sana ada penjelasan yang memuat juga tentang legal standing dan kewenangan MK. Poin seperti ini seharusnya tak perlu ditaruh di latar belakang,” jelasnya.
Selain itu, dirinya meminta para Pemohon lebih mengurai kerugian konstitusional yang dialami. Penjelasan tentang kerugian konstitusional sifatnya tidak mengenai langsung kepada para Pemohon. “Ini akan menentukan apakah permohonan dapat berlanjut ke sidang pleno ataukah tidak,” ujar Maria.
Maria juga berpesan agar para Pemohon memerhatikan putusan terdahulu terkait permohonan serupa, yakni putusan Nomor 6/PUU-VIII/2009 dan putusan Nomor 71/ PUU-XI/2013. “Coba dipelajari lebih mendalam. Ini bisa digunakan sebagai perspektif Pemohon untuk memperbaiki Permohonannya,” jelasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta para Pemohon memperbaiki kedudukan hukum yang dinilainya terlalu panjang dan berulang. “Ini tumpang tindih. Jadi, tolong disederhanakan penjelasannya agar kami tidak rumit membacanya,” sarannya.
Terkait pernah adanya permohonan serupa, Saldi menyebut boleh saja kasus serupa diajukan kembali ke MK asalkan alasan konstitusionalnya berbeda. “Jadi, coba dibuat alasan dan landasan pengujian yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. Agar Permohonan tak menjadi ne bis in idem,” tegasnya. (ARS/LA)