Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 55 (UU MK), Senin (30/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 79/PUU-XV/2017 tersebut dimohonkan Pengurus Organisasi Angkutan Darat (Organda), yakni Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organda Andrianto Djokosoetomo serta Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organda Ateng Aryono.
Dalam sidang perbaikan permohonan, Pemohon melalui kuasa hukum Ai Latifah Fardhiyah menyampaikan beberapa catatan perbaikan, di antaranya terkait legal standing Pemohon. Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya merupakan badan hukum privat, yaitu Organisasi Angkutan Darat. Dalam perkara ini, Pemohon diwakili oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organda serta Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organda sehingga mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak konstitusional.
Di samping itu, Pemohon pun menyatakan bahwa Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 telah membuka potensi terjadinya ketidaktertiban dan tidak terkontrolnya gerak usaha pelaku bisnis angkutan umum tidak dalam trayek. Oleh karena itu, Pemohon menilai hal ini memunculkan berbagai persoalan, di antaranya tidak adanya kepastian atas mekanisme pertanggungjawaban dalam persoalan hukum atas buruknya kualitas pelayanan angkutan umum, tidak dapat dipastikan jumlah pelaku bisnis; barometer kualitas pelayanan; dan mekanisme kontrol terhadap pelanggaran hukum, serta membuka peluang kompetisi tidak sehat.
“Kondisi ini memosisikan Organda yang berbasis badan hukum berada pada situasi bisnis yang tidak sehat dan tidak kompetitif dengan pelaku bisnis angkutan yang tidak dalam trayek,” terang Ai Latifah saat membacakan perihal perbaikan permohonan di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul dan didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Aswanto.
Ai melanjutkan adanya kontradiksi putusan MA dengan MK telah membawa suasana ketidakpastian hukum bagi Anggota Organda yang pada akhirnya berada pada persaingan bisnis yang tidak sehat dengan pelaku usaha yang tidak dalam trayekyang telah dibebaskan dari kewajiban hukum. “Dengan adanya Putusan MA Nomor 37/P/HUM/2017akan meningkatkan angkutan online ilegal,” sampai Ai Latifa.
Pemohon mendalilkan MK telah memutus pengujian Pasal 139 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) vide Putusan MK Nomor 78/PUU-XIV/2016 terkait adanya keharusan bagi penyedia jasa angkutan online memiliki badan hukum. Putusan MK tersebut dinilai Pemohon memperkuat keberadaan Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ yang kemudian secara implementatif diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek (Permenhub Nomor PM.26/2017). Akan tetapi, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 menyatakan Permenhub Nomor PM.26/2017 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut Pemohon, Putusan Mahkamah Agung Nomor 37/P/HUM/2017 secara substantif bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIV/2016. (Sri Pujianti/LA)